Seorang muslim diumpamakan bagai sebuah batu battery yang mengandung energi. Energi ini tidak akan memancar jika tidak disambung dengan lampu atau alat lain yang dapat merubah energi tersebut. Kekuatan energi yang terpancar pada lampu dengan menggunakan banyak batu battery akan lebih terang sinarnya daripada lampu yang hanya menggunakan satu battery saja.
Mushalla atau Masjid tempat diselenggarakannya shalat berjamaah dapat diibaratkan bagai sebuah Casing, yaitu tempat batu battery disusun dan ditempatkan. Bila casing-nya baik maka energi akan mengalir dengan baik tanpa hambatan dan halangan.
Agar lebih lengkap, mari kita kembali pada pokok bahasan kita mengenai masalah berwudhu’. Aktifitas berwudhu’ dapat juga diibaratkan sebagai suatu cara yang dilakukan untuk men-charge atau mengisi battery. Battery yang telah dicharge tadi hendaknya disusun secara teratur positif dan negatifnya agar energi yang ada didalamnya dapat mengalir dengan benar. Tidak boleh renggang, maksudnya agar energinya tidak terputus. Battery yang telah berisi energi tetapi dipasang secara renggang tidak akan dapat membuat lampu menyala. Sebagaimana yang terjadi dalam shalat berjamaah bila barisan atau shaf kita renggang-renggang maka akan sama kondisinya dengan batu battery yang banyak tetapi terputus dan tidak dapat memancarkan energinya. Artinya shalat jamaah yang kita laksanakan tidak akan memiliki kekuatan apa-apa.
Jika demikian, relevansi dari shalat berjamaah yang bernilai dua puluh tujuh kali lipat daripada shalat sendirian menjadi tidak bermakna lagi. Artinya shalatnya tetap dihitung sendirian (munfarid) walau dikerjakan secara bersama-sama (berjamaah). Lebih tepat kita katakan “Shalat sendirian yang dilakukan bareng-bareng”.
Bagaimana jika jamaah shalat tersebut tidak memenuhi kualitas yang baik dalam shalatnya? bila diperumpamakan dengan batu battery lagi artinya batu battery-nya hampir soak, hanya bisa mengalirkan energi saja tetapi tidak dapat menampungnya. Dalam hal ini Kualitas Imam menjadi sangat penting. Imam yang berkualitas dianalogikan sebagai battery super, sehingga walaupun battery yang lainnya soak maka ia tetap dapat mengalirkan energi dan tetap mampu membuat lampu itu bersinar dan mengeluarkan cahayanya karena posisi battery super itu berada paling depan dan menempel dengan lampu.
Bagaimana bila ada satu battery super ditempatkan di antara battery yang soak? Selama battery super itu dipasang searah positif dan negatifnya, walaupun battery yang lainnya soak maka energi masih dapat mengalir meskipun tidak lama. Bila dipasang terbalik energinya tidak akan terpancar sama sekali. Artinya ada seorang makmum yang berkualitas bahkan lebih berkualitas dari imam berada di tengah-tengah makmum lain kemudian ia datang ke masjid tetapi tidak mau berjamaah atau melawan arus maka energi yang dimilikinya juga tidak akan mengalir, bahkan saling meniadakan.
Imam dan makmum yang tidak berkualitas akan sama dengan battery yang soak, tidak dapat mengalirkan energi apalagi menampungnya. Sehingga bila ada suatu lingkungan di sekitar mushalla atau masjid tempat dilaksanakannya shalat berjamaah tersebut kemudian orang-orang yang berada di sekitar tempat itu masih tetap berbuat maksiat dan melakukan kerusakan maka artinya orang-orang yang shalat di mushalla dan masjid tempat diselenggarakannya shalat berjamaah itu tidak dapat membawa pengaruh yang baik bagi orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Ibarat sekumpulan battery soak yang tidak dapat menyimpan apalagi mengalirkan energi.
(QS. Asy Syu’ara, ayat 151-152)
وَلَا تُطِيعُوٓا۟ أَمْرَ ٱلْمُسْرِفِينَ ٱلَّذِينَ يُفْسِدُونَ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ
Artinya : “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas. Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”.
Kembali kepada masalah Tata cara dan Etika shalat berjamaah, bila seorang Imam shalat tidak dapat lagi menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari akibat perilaku dan perbuatannya yang bertolak belakang bahkan telah melewati batas-batas yang diatur oleh syariah, maka ini tidak berarti membatalkan hakikat berjamaah secara keseluruhan. Dalam kasus ini yang batal adalah kepemimpinannya, bukan berjamaahnya.
Jadi… sangatlah tidak beralasan bila kita meninggalkan berjamaah hanya karena Imam shalat berjamaah tersebut tidak memenuhi syarat, sementara ada juga seorang imam yang memenuhi syarat yang ditetapkan tetapi perbuatan-perbuatannya melanggar nilai-nilai syara’. Sebaiknya kita tetap berjamaah sambil memilih imam baru yang lebih memiliki kualitas ilmu pengetahuan agama yang baik dan telah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Para jamaah juga diwajibkan untuk selalu terus belajar dan menuntut ilmu (khususnya ilmu-ilmu agama) agar apabila terjadi lagi yang demikian (batalnya kepemimpinan) dapat diatasi dengan segera. Perubahan pergantian imam yang kurang memenuhi syarat kepada imam yang memenuhi syarat, memilih imam yang dapat menjadi contoh yang baik bagi para jamaahnya tidak akan pernah terjadi bila kita sendiri tidak mau merealisasikan perubahan itu. Karena perubahan yang paling mungkin dan relevan dalam masalah ini adalah perubahan yang dilakukan oleh pribadi atau golongan dalam perilaku hidup dan kehidupan bermasyarakat. Bahkan Tuhan pun mendukung bentuk perubahan keadaan seperti ini.
(QS. Ar Ra’ad, ayat 11)
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya : …..”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
(QS. An Nisaa’, ayat 59)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(QS. Asy Syuura, ayat 15)
فَلِذَٰلِكَ فَادْعُ ۖ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ ۖ وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ ۖ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
Artinya : “….. Dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali “.
Memilih imam shalat atau memilih pemimpin dalam hidup bermasyarakat adalah syarat dari berjamaah. Kerukunan dalam berjamaah memiliki kedudukan yang lebih penting daripada hanya sekedar memilih dan menetapkan imam.
Jika para jamaah sudah mengerti esensi yang terkandung di dalam shalat berjamaah, sehingga apabila jamaah tersebut mendapati imamnya tidak memenuhi syarat dan kriteria yang telah ditetapkan, maka… Jamaah diperkenankan memilih imam yang baru yang lebih baik daripada imam yang digantikannya dengan mekanisme dan syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’. Atas dasar ini saya yang sebelumnya berlaku skeptis tidak mau mengikuti imam yang tidak memenuhi syarat harus merubah sikap saya dari “Saya tidak mau shalat berjamaah” menjadi “Tetapi harus berjamaah”.
(QS. At Taubah, ayat 18)
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Artinya : “Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.
(QS. An Nisaa’, ayat 142)
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”.
(QS. An Nisaa’, ayat 146)
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya : “Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah…”
(QS. An Nisaa’, ayat 175)
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
Artinya : “Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya…”
Bid. SDM