Benturan Peradaban (The Clash of Civilizations) merupakan wacana politik global yang berkembang sejak 1990 yang diusung para intelektual Barat, terutama para cendekiawan Amerika Serikat.
Perang Dingin yang terjadi antara tahun 1947 hingga 1991 merupakan perang ideologi dan kompetisi dua negara adidaya pasca Perang Dunia II.
Kompetisi Amerika Serikat dan Uni Soviet tersebut terjadi dalam berbagai bidang, mulai bidang militer, penyebaran ideologi, psikologi, militer, industri, dan pengembangan teknologi, pertahanan, perlombaan senjata nuklir hingga persenjataan-persenjataan canggih.
Persaingan antara Amerika Serikat yang mengusung Demokrasi-Liberal dengan didukung negera-negera Blok Barat di satu pihak. Melawan Uni Soviet yang mengusung idelogi Sosialis-Komunis dengan didukung negara-negara Blok Timur di pihak berlawanan. Pada akhirnya “dimenangkan” oleh Blok Barat pimpinan Amerika Serikat.
Hal ini membuat Amerika Serikat sebagai pimpinan Blok Barat menjadi “pemenang sejarah”. Bersamaan dengan itu ideologi Sosialisme-Komunisme pun runtuh dan ditinggalkan bahkan oleh Uni Soviet sendiri.
Uni Soviet sendiri terpecah dalam berbagai negara, dan tembok Berlin sebagai salah satu simbol utama Perang Dingin pun ikut runtuh dan dihancurkan yang menjadikan Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu kembali.
Meminjam tesis Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man bahwa Demokrasi-Liberal yang dibawa Amerika Serikat merupakan pemenang tunggal, dan kemenangan Demokrasi-Liberal menjadikan Amerika Serikat sebagai “The Last Man” yang menguasai panggung sejarah dunia, tanpa saingan.
Maka dari itu, setidaknya menurut Francis Fukuyama pasca Perang Dingin dapatlah dianggap sebagai “Akhir Sejarah” ( The End of History ), ideologi demokrasi-liberal yang dipromosikan negeri Paman Sam dan sekutu-sekutunya pun telah diterima 61 negara pada tahun 1990, serta dianggap akan bebas hambatan.
Kendati demikian, ada juga intelektual Barat yang justru menganggap bahwa Amerika Serikat dan sekutunya memiliki musuh baru, atau setidaknya ‘membutuhkan’ musuh baru.
Berbeda dengan sebelumnya, musuh Amerika Serikat dan sekutunya (baca: Barat) kali ini ialah bangkitnya kekuatan Islam, khususnya apa yang oleh para cendikiawan Barat disebut sebagai “Islam militan”.
Begitu Komunisme runtuh, dengan waktu yang singkat diskusi-diskusi tentang ‘ancaman Islam’ dan ‘bahaya Islam’ bermunculan di media massa, terutama sekali media massa Amerika Serikat.
Di antara intelektual besar Barat (khususnya dari Amerika Serikat) yang mengemukakan tesis seperti itu ialah Prof. Bernard Lewis yang merupakan seorang orientalis yang menjadi guru besar kajian Timur Tengah dan Islam di Universitas Princeton.
Bernard Lewis merupakan seorang Yahudi Amerika yang dekat dengan pejabat-pejabat Gedung Putih. Ia juga merupakan penasehat dan salah seorang perumus kebijakan politik Amerika Serikat untuk wilayah Timur Tengah. Di era kepemimpinan rezim George Walker Bush, Bernard merupakan penasehat utama Perang Irak.
Dalam tulisannya yang berjudul The Roots of Muslim Rage di jurnal Atlantic Mounthly, September 1990, Bernard mempopulerkan wacana Clash of Civilizations, yang menurut cendekiawan Muslim Indonesia, Adian Husaini, artikel The Roots of Muslim Rage itu ditulis untuk menentukan siapa “musuh baru” Barat pasca perang dingin.
Puncak penulisan wacana Clash of Civilizations tidak lain adalah buku fenomenal karya Samuel P. Huntington, seorang guru besar ilmu politik dan hubungan internasional Universitas Harvard, yang berjudul The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order.
Huntington yang merupakan murid Bernard Lewis dan juga termasuk dalam kalangan perumus kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat merumuskan dalam bukunya yang sangat populer di bidang politik dan hubungan internasional tersebut. Yakni, pasca Perang Dingin, justru kebangkitan Islamlah, khususnya Islam militan, yang akan sangat membahayakan hegemoni Peradaban Barat.
Peradaban Islam dan kebangkitan umat Islam dianggap sebagai ancaman paling utama yang akan menggeser superioritas Peradaban Barat sebagai ‘pemimpin’ dunia.
Selain Bernard Lewis dan Huntington, sebenarnya memang banyak pula cendikiawan-cendiawan Barat, khususnya ahli politik dan hubungan internasional yang mengamini bahwasannya memang kebangkitan Islam merupakan ancaman bagi Barat.
Di antara para ahli tersebut ialah Charles E. Carlson, Jack Miles, Benjamin Barber, Judith Miller dan Daniel Pipes, mereka semua bukan penulis dan ilmuwan biasa, namun tulisan-tulisan mereka sangat berpengaruh bagi Amerika Serikat dan Barat dalam membuat kebijakan politik.
Mereka semua sepakat seperti halnya Bernard Lewis dan Huntington, bahwasannya umat Islam yang sedang bangkit karena telah menemukan identitas peradabannya sendiri dan rasa persaudaraan (ukhuwah Islamiyyah) yang kuat sebagai motor penggerak kebangkitannya sedang mengancam hegemoni peradaban Barat.
Menurut Samuel Huntington memasuki dekade 1960 dan 1970 banyak dari umat Islam di negeri-negeri mereka telah sadar bahwa pembangunan sosial-politik, ekonomi dan budaya di negeri-negeri Islam yang memakai solusi dan kriteria tipikal Barat mengalami ketidakefektifan dan ketidakcocokan.
Dengan mengikuti Barat khususnya way of life, worldviews dan budayanya, akan cenderung menambah permasalahan umat. Umat Islam sendiri dinilai tidak akan maju jika mengikuti pola pemikiran dan budaya pemikiran ala Barat. Baik anggapan karena peradaban dan budaya yang sangat berbeda akar konsepsi dan historisnya, atau pun anggapan karena “tidak mendapat ridho Allah”.
Sebagai gantinya, timbul kesadaran akan keinginan untuk kembali pada kejayaan Islam di masa lalu melalui spirit Islam, bukan melalui kriteria dan solusi ala Westernisasi. Ditambah lagi dengan kembalinya Ukhuwah Islamiyyah dan rasa solidaritas sesama umat Islam akibat Perang Afghanistan 1979-1989, Perang Bosnia-Serbia dan Perang Teluk di awal dekade 1990-an menjadikan benturan regional tersebut,secara perlahan tapi pasti menuju benturan peradaban.
Tema Benturan Peradaban Menarik bagi Umat Islam
Wacana benturan peradaban dalam ranah akademisi memang menjadi salah satu tema utama dalam perpolitikan dan hubungan internasional beberapa dekade belakangan ini, khususnya perihal benturan peradaban antara Islam dan Barat. Sekalipun demikian, benturan peradaban Islam dan Barat pada ranah praktis sesungguhnya jauh lebih menggema daripada dalam ranah akademis.
Paling menonjol adalah medan perang di Suriah, Iraq dan Afghanistan di mana Amerika Serikat sebagai ‘pimpinan’ peradaban Barat terlibat langsung dalam perang. Pasca Uni Soviet runtuh, negeri Paman Sam seakan terus mengganyang negeri-negeri Muslim demi ambisi politik, ideologi, ekonomi dan nafsu imperealistiknya.
Uniknya, di ajaran Islam banyaknya hadits-hadits yang mengabarkan perang Akhir Zaman (Al-Malhamah Al-Kubra) di masa menjelang Imam Al-Mahdi, masa kepemimpinan Imam Al-Mahdi hingga datangnya Nabi Isa AS. Hal itu menjadi legitimasi tersendiri bagi umat bahwa benturan peradaban sendiri merupakan sebuah keniscayaan.
Tidak heran di kalangan umat Islam baik awam, akademisi hingga ulama, wacana dan tema benturan peradaban kian hari cenderung malah kian digemari. Terlebih pasca 11 September 2001 hingga pecahnya perang Suriah 2011.
Khusus perang dan jihad Suriah, sejak pecahnya di tahun 2011, justru tidak ada tanda-tanda bakal berakhir melainkan semakin memanas. Tidak lupa juga, bahwa dalam hadits-hadits Al-Malhamah Al-Kubra, pusat huru-hara akhir zaman sendiri berada di Syam, Jazirah Arab hingga Khurasan, Imam Al-Mahdi sendiri sebagai khalifah terakhir umat Islam kelak akan mulai memerintah di Syam.
Kenyataannya pecahnya perang dan jihad di Suriah semakin membenarkan nubuwwah hadits-hadits Nabi SAW tentang Al-Malhamah Al-Kubra. Oleh karena itu tema dan wacana benturan peradaban di benak umat Islamjustru bukan ditakuti, melainkan diikuti, bahkan disambut sebagai pertanda semakin dekatnya kemenangan dan kejayaan Islam berikutnya.
Penulis : Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam (tulisan 2015).