Alkisah ketika suku Khuza’ah menguasai Makkah di bawah pimpinan Amr bin Luhay, si bapak Paganisme Arab, kota suci ini berkembang jadi peradaban Pagan. Ibnu Hisyam dalam kitab Sirah Nabawiyah-nya menuturkan bab Kisah Amr bin Luhay dan asal-muasal berhala-berhala Arab, bahwa “suku Amaliq memberi Amr bin Luhay satu berhala bernama Hubal. Amr bin Luhay tiba di Mekkah dengan membawa berhala Hubal. Ia memancangkannya, lalu memerintahkan penduduk kota Mekkah untuk menyembah dan mengagungkannya.”
Berhala Hubal milik suku Amaliq yang dibawa oleh Amr bin Luhay sebenarnya versi lain dari berhala-berhala besar kaum Nabatean (suku Nabath), kaum Nabatean dahulunya adalah peradaban paling maju di Syam selatan (Jordan). Ibukota mereka yang sangat terkenal adalah Petra, yang dijadikan situs warisan dunia oleh UNESCO. Nabatean punya berhala-berhala besar termasuk Hubal. Mungkin suku Amaliq yang turut mengikuti kebudayaan Nabatean, yang juga masih kerabat secara nasab, meniru Nabatean sampai pada sesembahannya. Suku Amaliq dan Nabatean memang dikenal punya sesembahan dewa bulan yang disebut Hubal. Maka Amr bin Luhay yang sedang safar ke negeri mereka, juga sebagai pimpinan Khuza’ah, turut membawanya, lalu ditaati seantero Makkah, kemudian diikuti oleh bangsa Arab.
Sejak saat itu, patung dan berhala pun menjadi objek ibadah konsumtif yang dilahap sehari-hari. Komat-kamit berdoa dari mulut orang-orang Arab Jahiliyah (Pagan) kepada berhala Hubal menjadi pemandangan yang kian lazim. Di saat kejayaan suku Khuza’ah yang bersekutu dengan Bani Kinanah itulah hadir berkunjung ke Makkah seorang figur besar. Ialah tokoh sejarah nan legendaris Alexander the great (Iskandar Zulkarnaen si penakluk).
Alexander the great, panglima penakluk dunia dari zaman kuno, dikisahkan mengunjungi kota suci Makkah setelah ia menaklukkan Sudan. Ia datang dengan armada kapal yang berlabuh di pantai Aden, kota pelabuhan kuno di Yaman. Kedatangannya ini disambut oleh Tubba’ Al Aqran, raja rezim Saba yang trahnya telah memerintah negeri Yaman selama berabad-abad. Dengan penyambutannya ini, sang raja Yaman tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Alexander the Great. Tentu harus siap mengirim upeti rutin. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Tanah Arab dijajah oleh bangsa bule.
Sang Tubba’ meminta Alexander untuk tinggal sementara di Shan’a, kota metropolis andalan bangsa Yaman. Tentunya Tubba’ malu, jika menyambut sang kaisar asal Macedonia-Yunani itu tanpa hiburan. Raja Yaman tersebut memberikan hiburan khas rakyat demi merebut hati sang Kaisar. Entah tulus, entah tanda seorang penjilat, tentu Allah juga-lah Yang Maha Tahu. ‘Kepengecutan’ Tubba’ ini pun tercatat dalam sejarah. Kendati bisa juga ditafsirkan sebagai kebijaksanaan, lantaran kerajaan Saba dibanding Macedonia-Yunani, ibarat ayam yang harus bertempur dengan serigala buas.
Ya, bisa saja kita interpretasikan: Tubba’ sangat paham, menyerang balik Alexander The Great dan bala tentaranya merupakan hal yang sia-sia. Macedonia-Yunani bangsa adidaya di muka bumi saat itu. Sang penakluk zaman kuno itu tercatat bermukim sebulan di Shan’a. Kisah ini tercatat oleh sejarawan klasik Muslim, Abu Hanifah bin Dawud Ad-Dinawari dalam kitab Tarikh-nya Al-Akhbar Ath-Thiwal, bab Peperangan Iskandar (Alexander) di Al-Hind dan Yaman, h. 34.
Setelah itu, Alexander melanjutkan penaklukannya ke Tihamah, wilayah pantai Barat Jazirah Arab. Baru kemudian sang penakluk masuk ke kota suci Makkah. Kala itu Makkah di zaman kekuasaan Suku Khuza’ah, namun Alexander mengalahkan pertahanan Suku Khuza’ah. Pertempuran ini bukanlah pertempuran besar, karena kita tahu setelah Alexander keluar dari Makkah pun suku Khuza’ah masih berkuasa di Makkah. Mungkin bermakna, pasukan Alexander masuk secara paksa ke tanah sekitar Baitul Haram.
Putra Makkah pada masanya, An-Nadhr bin Kinanah, leluhur Rasulullah, datang menghadap kaisar yang merupakan murid filsuf Yunani Aristoteles tersebut. An-Nadhr pun dikisahkan memberikan pelayanan kepada Alexander. Alexander berkata kepada An-Nadhr: Betapa kuno (terbelakang)-nya kehidupan di sini.” Suku Khuza’ah yang mewarisi kekuasaan Baitul Haram dilihat Alexander tidak cakap dalam mengelola Makkah, maka Alexander mengusir Khuza’ah dari Makkah. Ia pun menyerahkan kekuasaan kepada An-Nadhr, dan berhaji ke Baitul Haram, kemudian membagi-bagikan Bani Ma’ad bin Adnan (keluarga besarnya An-Nadhr dan Kinanah) kekuasaan atas penduduk Baitul Haram, juga memberikan mereka hadiah, (lihat Al-Akhbar Ath-Thiwal, h. 35).
Berhajinya Alexander bisa saja sebagai kunjungan belaka mengikuti tradisi negeri yang dikunjunginya saja, atau bisa juga bersifat politis, agar menarik simpati bangsa Arab. Paling tidak ia akan dianggap penakluk yang baik hati dan menghormati kemuliaan Ka’bah. Pada saat itu keturunan Kinanah atau keturunan Adnan telah mengikuti aqidah pagan juga. Mereka menganggap bahwa Hubal dan berhala lain setelahnya ‘hanyalah’ perantara untuk taqarrub ilallah, sarana mendekatkan diri kepada Allah, hal ini tercatat oleh Al Ya’qubi dalam Tarikh-nya saat membahas Adyan Al Arab (agama-agama Bangsa Arab, h. 307).
Saat Alexander the great mengunjungi Makkah seperti yang dikisahkan, ia menilai lingkungan Makkah sangat terbelakang (kuno). Dugaannya, ia melihat berhala-berhala sederhana memenuhi sekitar Baitullah, dan kehidupan Makkah yang bisa dikatakan cukup sederhana, tidak semegah Macedonia-Yunani, Romawi atau Mesir. Negerinya Alexander kita tahu negeri yang sangat maju di zamannya, pahatan-pahatan indah dan pencapaian budayanya mendahului zamannya. Itu makanya Alexander dengan sekonyong-konyong menjadikan keluarga Kinanah, (nenek moyang Rasulullah) keturunan Adnan, penguasa sementara Makkah dengan mengusir Khuza’ah, dengan harapan Makkah akan lebih maju dan teratur jika dipimpin Bani Kinanah. Kelak nantinya, keturunan Kinanah yang bernama Qushay akan menjadi tokoh terkuat Makkah, generasi kelima leluhur Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ilham Martasyabana, penggiat Sirah Nabawiyah dan penulis buku-buku sirah tematik