Dalam diskursus kebangkitan Islam, selama ini kita kerap ‘tergelincir’ dalam wacana “menyalahkan musuh”. Sedikit-sedikit nyeloteh ‘konspirasi Yahudi’, sedikit-sedikit ‘dasar kafir’, sedikit-sedikit ‘ini ulah thoghut’, layaknya sebagian kaum ekstrimis yang nyaris kehilangan akal sehat.
Tesis Syaikh Dr Majid Al-Kilani, sejarawan dan pakar tarbiyah dari Jordania, yang dalam bukunya Hakadza Zhahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat Al-Quds: dari pada menyalahkan pasukan Salib Eropa di masa Perang Salib, para ulama generasi sebelum Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, seperti Imam Al-Ghazali, Imam Abdul Qadir Al-Jilani, Imam Ibnu Qudamah dan lainnya, memfokuskan programnya dalam melakukan ishlah (perbaikan umat) di tubuh internal umat.
Melalui madrasah-madrasah yang kelak melahirkan generasi Sultan Shalahuddin, ulama-ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir, lebih fokus pada ishlah atau perbaikan (pembinaan) internal umat, ketimbang menyalahkan kaum Salib.
Para ulama di zaman itu sadar, bahwa umat Islam kondisinya memang layak kalah. Kondisi serba lemah di internal itu tak heran mengundang agresor-agresor kafir untuk mengoyak dunia Islam, terutama Syam, di mana terdapat Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa. Lebih dari itu, para ulama besar zaman itu menyadari bahwa umat Islam ‘layak dijajah’. Kurang lebih seperti itu di antara tesisnya.
Oleh karena itu, memperkuat internal umat melalui ishlah, mengidentifikasi penyakit-penyakit umat melalui muhasabah dan amar ma’ruf nahi munkar, lebih wajib dilakukan umat ketimbang mengutuk kaum kafir. Itu yang disadari generasi ulama masa Perang Salib. Kaum kafir memang kerja dan taqdirnya seperti itu. Senantiasa membuat makar terhadap umat Islam. Bahkan itu sunnatullah sejak zaman Nabi Adam. Selain itu, apabila tidak fokus pada kelemahan diri dan penyakit umat, hanya akan membuang waktu dan tenaga saja.
Kita sekarang, harus sadar diri juga bahwa kita ini umat yang sedang kalah. Kaum yang pantas kalah. Layak dijajah. Di mana-mana umat Islam dihinakan, dibunuh, dan digerus aqidahnya. Kalau bukan dijarah sumber daya alamnya, dikuasai ekonominya, dijajah secara pemikiran dan budayanya, kerap juga diambil harga diri dan kehormatannya, atau diserang secara agresi militer. Bahkan kombinasi dari semuanya. Kondisi yang amat memilukan.
Umat Islam kini seperti masa Perang Salib awal, ibarat santapan empuk bagi musuh. Menarik minat anjing-anjing lapar (baca: musuh Islam) yang akan mengerebutinya secara buas.
Bukannya nyadar diri, sebagian aktivis Muslim saking seringnya nyalahin musuh beserta tipu dayanya, terkadang kita lupa membangun role model peradaban umat Islam sendiri. Apa maksudnya?
Begini, jika umat Islam ingin berjaya kembali, seperti dahulu kala. Terserah mau anda sebut zaman kekhalifahan, atau zaman keemasan Peradaban Islam, yang jelas hakikatnya sama saja. Seyogyanya kita harus sudah memahami rancangan besar dalam membentuk role model peradaban yang kita mampu. Semampu kita. Di bidang kita masing-masing. Jika ini dirasa terlalu klise, izinkan saya lanjutkan.
Salah satu yang terpenting adalah membangun step by step, selangkah demi selangkah. Kita tidak melulu bicara aspek politik, militer dan ekonomi, sebagai tiga wacana yang sering diulas oleh para aktivis, namun kita bicara model kebangkitan Islam di semua aspek peradaban, di tiap sendinya. Itu dugaan kuat pertama yang kita harus terapkan.
Sejatinya tulisan ini membuat kita berpikir bagaimana harus berbuat, mewujudkan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk sekedar wacana penghias mulut para aktivis, atau berakhir di ruang-ruang kuliah dan diskusi. Hanya ‘berakhir di gudang Menara Gading’.
Jika kita melulu memikirkan cara mengalahkan musuh, apalagi cuma mengalahkan secara militer dan politik, semisal dengan jihad qital (jihad militer), maka yang ada umat Islam tidak akan bangkit-bangkit. Kita akan terus berputar dalam kekalahannya. Bagaimana bisa?
Seperti argumen Syaikh Majid Al-Kilani, memerintahkan umat Islam untuk jihad qital total di generasi lemah (baik masa Perang Salib awal atau masa kini), sama dengan mengajak jihad mayat-mayat. Separah itukah? Ternyata fakta sejarah jihad modern juga membuktikan. Meski mirisnya baru ada setelah ‘menang jihad’.
Kritik Pasca Kemenangan Jihad Afghan I
Tidak percaya? Ambil contoh besar yakni Jihad Afghanistan pertama, yang merujuk pada jihad para mujahidin menjelang akhir abad 20, 1979-1989. Afghanistan yang sering dijuluki “bumi jihad” pernah berhasil mengalahkan raksasa Komunis Uni Soviet, tahun 1989. Dengan apa? Dengan jihad qital. Tetapi, apa yang terjadi setelah itu? Para mujahidinnya saling berperang satu sama lain. Itu artinya banyak tugas internal umat yang masih harus dibina. Banyak PR yang harus dikerjakan, lagi-lagi di tubuh internal.
Sebabnya bisa jadi beragam. Kita batasi saja dengan dua poin biar tidak usah banyak-banyak. Pertama, bisa jadi jihad nafsinya, kita sinonimkan dengan jihad tarbawi (jihad Pendidikan personal), yang belum tercapai. Terutama hubungan interpersonal antar para pimpinannya. Bukan berarti sudah jihad qital lantas selesai masalah. Sudah menang lantas tugas peradaban berhenti. Ini yang harusnya menyadarkan kita. Ego dan syaithon bisa berbisik kapan dan di mana saja, meskipun sudah jihad qital.
Satu lagi yang tak kalah dahsyat pentingnya, yang jadi poin kedua, jihad tanzhimi, artinya dalam tata kelola dan memanage lini-lini peradaban yang seharusnya sudah dirancang, apalagi bagi kaum pemenang. Kita bermasalah juga di bagian ini. Masih PR besar di bagian ini.
Waktu akhirnya sebagian para pemimpin Mujahidin ada yang memihak Thaliban dan ada pula yang memihak Afghanistan yang katanya pro-Barat, saya melihatnya tidak melulu “penyaringan antara haq dan bathil.” Melainkan lebih tepat kekurangan kita dalam memanage, mentanzhim, bagaimana mengelola kemenangan yang diraih.
Bisa saja masih minimnya jihad nafs di internal pimpinan mereka (sekalipun pernah jihad qital). Syaithon senantiasa menggoda orang beriman dan punya banyak cara. Jika dinyatakan para pimpinan ini adalah orang-orang sangat shalih dan beriman. Saya percaya. Maka ada kemungkinan kedua, saya kira ini lebih meyakinkan, yakni belum siapnya pengelolaan kemenangan, masyarakat dan negaranya. Bisa juga dalam tata pengelolaan lainnya, seperti masyarakat, kesatuan militer, dll.
Rangkaian-rangkaian jihad dengan berbagai aspeknya harus tepat. Katakanlah saya sependapat dengan Syaikh Majid Al-Kilani. Pertama, Jihad melawan hawa nafsu (jihad nafsi) sendiri tidak mesti ditafsirkan secara sufistik. Kita sedang tidak berbicara tasawuf, melainkan sinonim dengan jihad tarbawi, jihad mendidik personal-personal umat.
Jihad nafsi ini, sebagai pendahuluan sebelum jihad tanzhimi (jihad tata Kelola di tiap aspek peradaban, semisal di bidang Lembaga politik, militer, ekonomi, sosial dll) dan baru kemudian jihad qital (jihad militer). Saking pentingnya, di antara tesis Syaikh Majid Al-Kilani, urutan-urutan jihad nafsi (tarbawi), lalu jihad tanzhimi dan kemudian qital tidak boleh mengacak.
Bagaimana mungkin ada jihad qital tanpa pengelolaan yang baik secara militer, politik, ekonomi dan gerakan kultural umat, sedangkan ini semua tidak akan terarah dengan benar, jika individu-individu Muslim, ulamanya, aktivisnya, masih sangat bermasalah jihad nafsinya.
Jika secara personalnya sudah matang, visi dan misi Islam sendiri dalam jihad tanzhimi, ini yang lebih riskan, karena sudah masuk pada pekerjaan keummatan, yang mana dalam suatu negeri Muslim saja, kepala-kepala para ulama dan umaranya berbeda-beda cara berfikirnya.
Maka kesimpulan di sini ialah, pada jihad qital (peperangan, militer) umat sejatinya tidak terlalu bermasalah, akan tetapi lain halnya jika membahas aspek jihad tata kelola tadi (tanzhimi), karena ini akan banyak melibatkan perselisihan dan penyakit yang ada di dalam internal umat.
Maka jika anda punya keshalihan seperti Mujahidin Afghanistan saja bisa bermasalah di tata kelola dan managemen kemenangan, apalagi level yang masih bermasalah di personal-personalnya (jihad nafsinya). Ini yang harusnya dipikirkan aktivis Muslim zaman ini. Demikianlah.
Bersambung
Penulis : Ilham Martasyabana, penggiat sejarah Islam