Fadak, merupakan sebuah lokasi subur di utara Madinah. Tadinya kaum Yahudi Fadak, yang juga saudara sekutu Yahudi Khaibar, menguasa tempat ini. Setelah perang Khaibar di bulan Muharram tahun 7 Hijriyah, penguasaan kaum Yahudi atas tanah Khaibar dan Fadak berakhir. Kaum Muslimin berhasil mengambil alih Fadak yang berstatus layaknya tanah Fa’i. Sebuah istilah yang bermakna harta rampasan dari musuh namun tanpa kecamuk perang, tanpa harus beradu senjata. Fadak resmi menjadi milik Rasulullah Muhammad secara pribadi.
“Sesungguhnya itu (Fadak) adalah hanya makanan dan minuman yang diberikan Allah kepadaku selama hidupku, apabila aku meninggal maka itu dibagi antara umat Islam,” demikianlah pesan Nabi yang diriwayatkan Al-Baladzuri dalam Futuhul Buldan.
Penuturan Umar bin Abdul Aziz yang diabadikan juga dalam kitab Futuhul Buldan, bahwa Nabi bersabda, “Kamu (wahai Fathimah putri Rasulullah) tidak berhak untuk memintanya dan aku tidak berhak memberikannya kepadamu.” Rasulullah memberikan hasil tanah ini kepada para musafir. Kemudian pada masa Abu Bakar, Umar, dan Utsman masih tetap berjalan seperti pada masa Nabi. Fadak sejak masa Rasulullah memang dikenal sebagai sedekahnya Rasulullah kepada para musafir dan pengemban fii sabilillah.
Separuh kekayaan orang-orang Fadak, ketika Rasulullah menaklukkan Khaibar, orang-orang Fadak menghadap beliau, beliau berdamai dengan Fadak dengan mediasi Mahishah bin Mas’ud, beliau mendpaatkan separuh tanah mereka dan pohon kurma mereka. Umar di zamannya mengusir Yahudi Fadak, dengan seluruh kafir dzimmi Hijaz, karena wasiat Nabi tidak memperkanankan ada dua agama di Jazirah Arab. Jatah separuh dari total kekayaan tanah Fadak dihitung, dan total yang diterima oleh Yahudi Fadak adalah 60 ribu dirham, orang yang bertugas menentukan jatah tersebut adalah Malik bin At-Tihan, Sahl bin Hatsmah, dan Zaid bin Tsabit, separuh lainnya adalah sedekah hak Rasulullah, tidak diwarisi ke ahlul bait Nabi. (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah Imam Al-Mawardi, sub bab sedekah untuk Rasulullah, ketentuan daerah yang berbeda status).
Alasan serangan tersebut, tiada lain karena kaum Yahudi, baik di Khaibar maupun di Fadak, kerap melancarkan makar dan fitnah untuk kaum Muslimin di Madinah. Maka sumber-sumber makar tersebut jelas harus diberangus. Secara teologis, politis dan kebijakan militer, serangan kaum Muslimin ke Fadak dan Khaibar memang dibenarkan. Terlebih setelah kaum Yahudi berulang kali, tanpa kapok-kapoknya, memprovokasi suku-suku musyrik Arab agar menyerang umat Islam.
Rasulullah mengirim Muhaishah bin Mas’ud Al-Anshari untuk mengajak Yahudi Fadak masuk Islam. Hasilnya nihil. pemimpin Yahudi Fadak adalah Yusya’ bin Nun, yang telah sepakat dengan kaumnya untuk menolak ajakan memeluk Islam. Sebuah penolakan khas Yahudi, ala bangsa Semitis, yang pasti fanatik dengan agamanya. Bedanya, Yahudi Fadak itu unik sekali. Selain fanatik dengan agamanya, mereka juga fanatik dengan harta bendanya.
Disebutkan dalam Al-Maghazi karya muarrikh Al-Waqidi, “pemimpin Fadak yang membuat perjanjian damai dengan Rasulullah adalah Nun bin Yausya’, separuh wilayah tanah dan assetnya akan tetap menjadi milik mereka, dan separuh wilayah lagi milik Rasulullah. Beliau tidak menyerang Yahudi Fadak. Waktu Kekhalifahan Umar bin Khaththab, beliau mengusir seluruh Yahudi dari Khaibar dan sekitarnya, beliau mengutus Abul Haitsam bin Tayyi, Farwa bin Amr dan Zaid bin Tsabit, mereka menilai kurma dan tanah mereka, Umar mengambil alih tanah Fadak dan membayarkan separuh nilainya kurma dan tanahnya, yang mencapai 50 ribu dirham lebih, itu harta yang didapatnya dari Iraq, Umar mengusir mereka ke Syam.” (Maghazi Al-Waqidi, Riwayat Tentang Fadak).
Oleh karena itu, saat umat Islam menghukum mereka lantaran tindakannya, mereka masih keras kepala. Meski sebagai pihak yang kalah namun kerap berbuat makar, Yahudi Fadak lewat Yusya’ sempat-sempatnya menolak tawaran Nabi yang berupa pembagian hasil tanah Fadak. Lewat diplomasi, akhirnya disepakati Yahudi Fadak berbagi hasil bumi Fadak dengan Rasulullah. Bisa saja Rasulullah beserta kaum Muslimin menggulung mereka begitu saja, namun tentara Islam memang tinggi sekali rasa adilnya. Bisa dikatakan, Yahudi Fadak diberi ampunan. Kendati kerap kali membahayakan banyak nyawa kaum Muslimin.
Rasulullah memberikan hasil dari tanah tersebut kepada para musafir dan sabilillah. Ini berlangsung sampai masa Umar, sebelum Umar mengusir orang-orang Yahudi dari Hijaz ke Syam. “Tanah Fadak menjadi bagian Rasulullah karena tidak diserang dengan pasukan berkuda atau pun infanteri. Rasulullah setuju dengan utusan Fadak, bahwa hasil bumi Fadak dibagi dua.” (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Fadak ba’da Penaklukkan Khaibar) Artinya, hasil bumi Fadak murni menjadi bagian Rasulullah separuhnya, dan separuh lainnya milik kaum Yahudi Fadak, sebagai pihak yang kalah.
Tanpa disadari, hasil dari sedekah Rasulullah terhadap para musafir dan orang-orang yang terlibat dalam sabilillah ini mengamankan banyak aspek. Berikut yang bisa disajikan.
Pertama, mengamankan para pelancong dan musafir, bahkan di antara mereka bisa saja dari suku-suku seperti Ghathafan, Lakhm, Judzam, Ghassan atau Kalb, sebagian besar di antara mereka adalah loyalis Romawi, intelijen mereka, sedangkan sebagiannya lagi sekutu dekat Quraisy Makkah. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa sebagian mereka merupakan sekutu masyarakat Yahudi Khaibar dan sekitarnya, terutama Ghathafan.
Saat mereka melewati wilayah-wilayah Islam seperti Khaibar, Fadak, Taima dan Wadil Qura, para pelancong dan musafir akan merasa aman. Mereka sendiri diberikan bekal, kendati tetap para musafir Muslim yang akan lebih didahulukan. Para musafir yang singgah baik ke arah Syam atau pun dari Syam ke arah Yaman, mereka merasakan betapa ramahnya wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Bahkan sampai ditunjang, diberikan bekal.
Jangan lupa di jalur-jalur antara Madinah dan Syam adalah wilayah ramai para pelancong dan musafir, yang dalam perjalannya selalu senang membawa kabar berita. Perlakuan baik untuk para musafir ini menjadikan citra Islam terangkat naik.
“Rasulullah mempunyai tiga tanah, tanah Bani Nadhir adalah waqf dan untuk para wakilnya, tanah Khaibar dibagi menjadi tiga bagian, tanah Fadak untuk para musafir.” (HR Abu Dawud dari Umar bin Khaththab dan Usamah bin Zaid), Hadits dalam Sunan Abu Dawud dan keterangan dari Imam Al-Baladzuri dalam Kitab Futuhul Buldan ini terang menjelaskan bahwa tanah Fadak dikhususkan untuk para musafir, sekalipun sebagian lagi menyatakan untuk musafir dan yang melakukan fii sabilillah.
Kedua, seteleh waktu-waktu sebelumnya kaum Muslimin berhasil mengamankan Daumatul Jandal dari para penyamun dan perampok. Lalu ditambah keberhasilan kaum Muslimin mengamankan jalur-jalur wilayah Khaibar dan sekitarnya. Para musafir dan pedagang beranggapan bahwa jalur-jalur yang dikuasai Islam malah lebih aman, tidak ada kezhaliman dan perampokan.
Ketiga, sedekah Rasulullah dari hasil Fadak ini juga bermanfaat dalam melunakkan hati sebagian suku-suku Arab Nasrani dan Arab Persia, sehingga kerabat-kerabat mereka yang telah terbukti memilih Islam, kendati masih sebagian kecil. Bagi bangsa Arab yang menjunjung tinggi kekerabatan dan nasab, akan sangat berarti kiranya jika dalam satu suku atau keluarga ada yang memilih menjadi Muslim.
Keempat, orang yang berjihad fii sabilillah dan yang memenuhi tugas dakwah juga ditunjang dari harta Rasulullah di Fadak ini. Terutama sebagian mereka yang meniti tugas menyampai surat dakwah ke raja-raja Dunia saat itu. Dalam hal pembiayaan tugas dakwah dan jihad, kaum Muslimin sudah jauh lebih siap dan matang. Maka biaya dari hasil bumi Fadak berperan besar dalam memperkuat militer Muslim.
Kelima, memperlihatkan suku-suku Arab bahwa ada kekuasaan yang lebih adil ketimbang Romawi dan Persia, paling tidak dalam pengamanan dan penguasaan jalur dagang. Ingat, Fadak direbut awal tahun ketujuh hijriyah, di masa Perjanjian Hudaibiyah. Pada masa-masa tersebut, suku-suku Arab gemar mempertimbangkan akan memihak kaum Muslimin atau tidak. Masa inilah masa penilaian mereka terhadap kekuatan Islam yang membawa keimanan serta keadilan.
Keenam, tidak diusirnya Yahudi Khaibar dan Fadak. Langkah ini sangat tepat. Jika mereka diusir ke Syam di masa-masa itu, mereka bisa memprovokasi Romawi Byzantium untuk menyerang wilayah-wilayah Islam di Hijaz.
Paling tidak keenam hal ini bisa menjadi ilustrasi keberhasilan pencapaian prestasi kaum Muslimin di tahun ketujuh hijriyah. Tadinya, sebagian pihak masih memandang sebelah mata kekuatan politik dan militer Islam di Madinah. Setelah dikuasainya Khaibar, Fadak, lalu kemudian Taima dan Wadil Qura, praktis Islam sudah menjadi kekuatan besar di Hijaz. Maka pertempuran pertama melawan bangsa adidaya Romawi Byzantium tidak perlu menunggu lama, setahun kemudian, bulan Jumadil Awwal tahun 8 Hijriyah, meletus perang Mu’tah, perang pertama yang menujukkan taji kaum Muslimin di hadapan bangsa Romawi.
Penulis : Ilham Martasyabana, penggiat sirah nabawiyah