Lockdown dan pembatasan sosial di zaman Al-Faruq memang ada. Ia tak sekedar dongeng. Memang jika membahas kisah pemerintahan Abu Hafsh Umar bin Khaththab Al-Faruq, tak akan ada habisnya. Beliau sungguh menghidupkan hadits Rasulullah SAW, “alaykum bisunnatii wa sunnah khulafa ar-rasyidin, adhu alaiha binnawajidz” (diwajibkan pada kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin, gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian). Sudah seharusnya umat Islam menggali mata air inspirasi dan ‘ibrah (pelajaran) dari peristiwa di zaman itu, apalagi di saat lockdown akibat pandemi corona.
Di zaman Umar bin Khaththab memerintah, pernah ada wabah yang dikenal sebagai Tha’un Amwas. Wabah penyakit kulit mematikan yang melanda negeri Syam dan sebagian Irak. Menurut mayoritas ulama, wabah dimulai tahun 17 Hijriyah dan memuncak tahun berikutnya (18 H), oleh karenanya tahun 18 Hijriyah menjadi yang paling sering dicantumkan. Ini yang menjadi pendapat para muhaddits dan sejarawan awal seperti Musa bin Uqbah dan Ibnu Ishaq dalam Tarikh Ath-Thabary, Khalifah bin Khayyath dalam Tarikhnya, Al-Waqidi dan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat Al-Kubra, Al-Baladzuri dalam Futuhul Buldan dan Anshabul Asyraf, Al-Hakim dalam Mustadraknya, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabirnya, serta Ibnu Jarir Ath-Thabary dalam Tarikhnya. Tulisan ini pun memakai referensi dari sebagian kitab-kitab tersebut.
Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan adalah: Dengan apa Khalifah Umar bin Khaththab menunjang rakyatnya saat terjadi lockdown dan pembatasan sosial akibat wabah? Mengingat sejarah populer menyatakan Gubernur Abu Ubaidah Al-Jarrah dan penduduk Syam menolak keluar dari wilayahnya masing-masing, yang kemudian Amr bin Ash akhirnya memerintahkan para penduduk agar memisahkan diri satu sama lain ke gunung/dataran tinggi. Begitulah asumsi dasar saat mengkaji wabah Tha’un Amwas tersebut.
Tunjangan Dinar-Dirham sejak Tahun 15 Hijriyah
Tahun 15 hijriyah ada peristiwa penting yang tak boleh dilupakan: pembagian tunjangan tahunan dimulai di tahun ini. Bentuknya berupa uang (dinar-dirham) dan juga bahan logistik. Sejak saat itu dirham maupun dinar (uang) dibagi-bagikan oleh pemerintah Khalifah Umar bin Khaththab sebagai tunjangan rakyat pertahunnya. Wabah Amwas yang terjadi tahun 17-18 Hijriyah, maka penduduk Syam yang terkena wabah sudah diberi tunjangan tahunan. Harta mereka yang berupa uang dugaan kuatnya masih ada, apalagi epidemi Tha’un Amwas proses mulainya secara berkala. Oleh karena itu, ketika mereka akhirnya harus menjaga jarak satu sama lain (Pembatasan Sosial) dan lockdown sekalipun, penduduk Syam sama sekali tiada masalah.
Diriwayatkan dengan sanadnya dari Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk Ath-Thabary, para mujahidin yang bertempur pada perang Qadisiyah dan futuhat Syam mereka semua diberikan masing-masing 2000 dirham, kepada mereka yang terkena bencana (kelaparan, wabah penyakit, dan lain sebagainya) 2500 dirham. Apalagi dari yang terkena wabah banyak juga para mujahidin yang sedang melakukan tugas mulia futuhat di sana, bahkan banyak dari mereka kalangan Muhajirin dan Anshar, atau keluarga mereka.
Umar membuat kebijakan juga, bagi para mujahidin yang ikut bertempur setelah perang Qadisiyah dan Yarmuk, masing-masing 1000 dirham, pasukan cadangan 500 dirham, bahkan pasukan lapis ketiga juga mendapatkan bagian masing-masing 300 dirham. Oleh karena itu semua kalangan keluarga sudah pasti mendapatkan bagian, lantaran dalam Islam, hukum jihad adalah fardhu bagi laki-laki. “Semua orang diberikan sesuai kedudukan masing-masing, tidak dibedakan antara orang kuat maupun lemah, antara Arab maupun non-Arab. Pasukan cadangan yang disiapkan untuk musim semi diberikan 250 dirham, dan hamba sahaya masing-masing 200 dirham,” tercantum dalam Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk (bab Permulaan Tunjangan).
Selain para budak dan hamba sahaya, Umar juga mulai membagikan kepada orang-orang faqir miskin (dhuafa). Diriwayatkan tunjangan mereka berupa roti, hingga mereka merasa bercukupan dalam hal makanan, diberikan dua jaribah (takaran makanan pokok mereka, roti). Bahkan khusus kalangan faqir miskin kebutuhan makan mereka perbulannya dijamin oleh pemerintah. Umar menetapkan bagi mereka (kaum dhuafa) beserta anak-anaknya dua jaribah pada setiab bulannya, demikian lanjutan Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk juz 3, hadits No. 614/615. Memang, Umar sendiri telah berkomitmen dalam suatu pidato kenegaraannya, “Siapa di antara kalian membutuhkan sejumlah uang. Hendaklah datang kepadaku, karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikanku sebagai penjaga dari harta ini untuk disalurkan kembali.” (HR Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 3 h. 475-476; An-Nasa’i, Sunannya, bab Budi Pekerti Keutamaan Khalid bin Walid, juz 5, no. 8283).
Ada pun tentang kebijakan Umar yang akan memberikan tunjangan pertahunnya, terekam jelas dari musyawarah Umar dengan beberapa shahabat Nabi pejabat Kekhalifahan, “Bagaimana pendapat kalian tentang rencanaku untuk membagikan santunan setiap tahun dari harta Baitul Mal? sebab dengan begitu harta tersebut akan lebih bermanfaat,” tanya Umar. Para shahabat lain menjawab, “Lakukanlah, kami semua setuju dengan rencanamu.” Seperti tercantum di kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf bagian hadits no. 44-45.
Maka para shahabat Nabi maupun tabi’in di Syam yang terkena wabah maupun yang hanya ikutan pembatasan sosial, atau lockdown sekalipun, selalu ditunjang kebutuhannya. Bahkan sebagaimana riwayat shahih dalam Musnad Ahmad dan An-Nasa’i, menunjukkan kaum Muhajirin dan Anshar yang ikut Perang Badar dapat tunjangan tahunannya sebesar 5000 dirham. Lainnya yang ikut berjuang bersama Nabi setelah perang Badar, Peristiwa Hudaibiyah dan masa kekhalifahan Abu Bakar mendapatkan jatah tahunan 3000 dirham. Sedangkan anak-anak Muhajirin dan Anshar dapat 2000 Dirham pertahunnya. Akal sehat kita akan memahami betapa mereka tidak akan kekurangan uang meski terkena wabah. Ini pun baru dari tunjangan yang berbentuk uang.
Tunjangan Berupa Logistik dan uang memang potensi kuat penunjang hidup banyak penduduk Syam yang terkena wabah, atau daerah mereka statusnya darurat wabah tha’un. Penarikan jizyah awal mulanya hanya tanah ladang dan uang sebesar satu dinar untuk setiap orang Ahli Kitab, akan tetapi kemudian Umar bin Khaththab menetapkan 4 dinar kepada pemilik dinar, dan 40 dirham kepada pemilik dirham (Futuhul Buldan, Al-Baladzuri, h 158). Umar bin Khaththab sendiri mengklasifikasi Ahlu Dzimmah dari yang kaya, menengah dan yang miskin. Bahkan penduduk Himsh yang meminta perdamaian dengan kaum Muslimin, membayar jaminan jizyah mereka sebanyak sebanyak 170.000 dinar, demikian riwayat Khalifah bin Khayyath dalam Tarikhnya (Hadits no.93) dan Al-Baladzuri dalam Futuhul Buldan (h. 158). Dinar-dirham mereka itulah yang statusnya jizyah, sedangkan tanah dan ladangnya menjadi kharaj.
Kharaj di bumi Syam
Kharaj atau pajak hasil bumi dari tanah orang-orang kafir di zaman Umar begitu berlimpah. Sebelum kita berbicara data-data, kharaj itu sendiri berasal dari tanah orang-orang kafir yang menjadi milik kaum Muslimin. Dasar pemberlakuan kharaj adalah tindakan Umar bin Khaththab yang memegang kekhalifahan, yang ditarik dari tanah-tanah futuhat. Maka Kharaj lebih bersifat seperti jizyah, namun berupa tanah. Demikian dijelaskan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya (Juz 4, bab Ghanimah). Maka kharaj dasar pengambilan hukumnya berasal dari ijma’ shahabat, yang mana ijtihad mereka dari ayat-ayat mengenai ghanimah dan fa’i. Dasar hukumya juga bisa Sunnah Fi’liyah (perbuatan) Rasulullah terhadap tanah Yahudi Khaibar, Fadak dan sekitarnya di masa beliau masih hidup.
Kharaj itu baru berhenti dan menjadi milik pribadi (si pengelola) jika mereka menjadi Muslim, namun saat wabah Tha’un Amwas, islamisasi secara pemikiran, keyakinan dan budaya untuk penduduknya belum terlalu masif dilakukan lantaran kaum Muslimin masih fokus pada futuhat. Oleh karena itu Umar bisa bebas membagi-bagikan hasil tanah kharaj kepada kaum Muslimin demi maslahat, terlebih tanah Syam yang penghasil Kharaj terbesar di saat itu, yang terkena wabah juga penduduk di tanah Syam dan sebagian kecil dari Iraq.
Maka sebenarnya kharaj ini harus dipahami betul sebagai penunjang generasi Muslim saat itu, termasuk yang hidup di wilayah wabah. Besar kemungkinan kaum Anshar dan keluarga mereka yang ahli dalam masalah berladang, dan juga penduduk asli Syam yang menjadi mualaf punya tugas untuk mengawasi ladang yang berstatus kharaj ini. Baik Yahudi dan Nasrani di Syam, selain membayar dinar-dirham, mereka diriwayatkan memberikan satu jarib (takaran) gandum, cuka, dan minyak zaitun untuk bahan-bahan pokok kaum Muslimin.
Selain memerintahkan agar memungut jizyah kepada setiap ahlu Dzimmah, pemerintah juga mencukupi kebutuhan kaum Muslimin dengan gandum dan minyak (Zaitun). Sarana tersebut ditunjang dari kharaj. Setiap ahlu Dzimmah yang memiliki ladang, pertanian dan harta, baik di Syam maupun Al-Jazirah (Wilayah Syam yang berbatasan dengan Irak/Persia) diwajibkan mengeluarkan dua mud gandum, menyuplai minyak dan juga madu sebesar satu wadah. Bahkan sanad dari kisah ini di Futuhul Buldan karya Al-Baladzuri berderajat shahih, lantaran sanadnya dari Imam Malik bin Anas, dari Nafi maula Ibnu Umar, dari Aslam pembantunya Umar bin Khaththab.
Tunjangan hasil sumber daya alam dari kharaj ini dari berbagai wilayah di Syam, seperti Himsh, Fihl, Al-Jabiyah, Damaskus, Eliya (Jerussalem), Al-Jazirah, Bushra, Thabariyah dan Jordania. Terkait jizyah dan kharaj dari Thabariyah dan Jordania, diurus oleh para komandan seperti Syurhabil bin Hasanah, Amr bin Ash dan Abu al-A’war As-Sulami di bawah komando panglima Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dikisah dalam Tarikh Ar-Rusul wa Al-Mulk, Ath-Thabary (juz 4, hadits no. 17). Akan tetapi menurut keterangan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah meskipun sebagai pemenang perang, keadilan Islam terlihat di sini, pengambilan kharaj dan jizyah disesuaikan dengan kondisi Ahlu Dzimmh yang kaya ataupun yang miskin, seperti yang kaum Muslimin lakukan terhadap penduduk Himsh (Al-Bidayah wa An-Nihayah, bab Peperangan Himsh Pertama). Tidak memberatkan mereka dan tidak menakuti mereka.
Ketika Umar mengunjungi Syam untuk ketiga kalinya pasca meredanya Tha’un Amwas, beliau ke Syam guna memantau langsung kondisi rakyatnya pasca epidemi, lalu membagi-bagikan tunjangan kepada keluarga kaum muslimin yang wafat akibat Tha’un Amawas. “Beliau bagi-bagikan nafkah penduduk Syam, memberi nama daerah-daerah pantai dan dataran yang ditaklukkannya”(Ibnu Katsir, bab Perjalanan Umar ke Syam tahun 18 H). Beliau juga membagikan harta warisan kepada para ahli waris yang berhak. Dikatakan juga bahwa keadaannya cukup sulit untuk membagi-bagikan nafkah, disebabkan banyaknya yang tewas akibat Tha’un tersebut satu demi satu sebelum dibagikannya tunjangan.
Pembagian jatah tahun 18 Hijriyah baru dibagikan ke penduduk Syam saat wabah telah reda, kala Amirul Mukminin di negeri Syam. Dibagikannya “harta warisan” itu kuat dugaan ialah harta negara yang menjadi hak para shahabat dan tabi’in yang turut andil futuhat Syam namun keburu wafat akibat wabah. Namun ini semua menunjukkan kepada kita bahwa harta negara itulah yang digunakan pemerintah Umar untuk menunjang rakyatnya. Umar telah berusaha semampu mungkin untuk memanfaatkan harta negara demi maslahat rakyatnya. Bukan untuk kepentingan investasi, atau segelintir orang yang dianggap punya kuasa. Teladan kecakapan, keadilan dan kasih sayang pemimpin kepada rakyatnya memang tergambarkan secara indah di sirah Umar bin Khaththab.
Al-Jabiyah
Harta dan pasokan logistik biasa dipusatkan di Al-Jabiyah, kota dataran tinggi sebelah Barat Daya kota Damaskus. Sekalipun bukan berarti tidak ada kota lain yang dijadikan tempat pasokan logistik dan harta di Syam. Al-Jabiyah merupakan pangkalan militer kaum Muslimin di Syam, serta markas untuk membagi-bagikan ghanimah, fa’i dan kharaj kepada para mujahidin maupun penduduk Syam. Setelah wabah melanda, menurut keterangan Ibnu Katsir, kebijakan pemerintahan Umar bin Khathtab menetapkan Al-Jabiyah sebagai wilayah yang dijadikan tempat pemulihan para mujahidin. Selain itu digunakan juga untuk salah satu tempat lockdown dan mengungsi bagi mereka yang belum terkena wabah, lantaran wilayah bekas ibukota suku Ghassan tersebut dikenal memiliki udara yang bersih (Al-Bidayah wa An-Nihayah, bab Wabah Tha’un Amwas). Pemerintah Umar punya kebijakan agar penduduk Syam saling memisahkan diri, terutama ke tempat dataran tinggi dan yang memiliki udara bersih.
Penulis : Ilham Martasyabana, penggiat sirah nabawiyah dan penulis buku-buku sirah tematik