Sungguh, aku tak begitu ingat kapan terakhir kali bertamasya dalam simbol. Padahal sesekali kita harus berlibur dalam hiperrealitas.
Tempat rekreasinya adalah sirah Nabawiyah, tepatnya di salah satu adegan diplomasi peristiwa Hudaibiyah.
Bertamasya ke ‘alam simbol’ peristiwa yang terjadi bulan Dzulqa’dah tahun enam hijriyah ini terasa tak biasa, lantaran kali ini kita akan bertemu hewan hadyu. Hebatnya, hewan hadyu ada kalanya menjadi alat komunikasi yang efektif. Terbukti, sekumpulan hadyu kadang bisa mempengaruhi sebuah kisah.
Kejadiannya itu dimulai saat rombongan kaum Muslimin sedang berdiplomasi alot dengan utusan-utusan kaum Quraisy, tersebutlah tokoh Ahabisy bernama Al-Hulais bin Al-Qamah. Bersama Rasulullah SAW, Al-Hulais inilah tokoh yang mengajak kita ke alam simbol atau alam tanda yang kita idam-idamkan. Al-Hulais ini kedudukannya sebagai utusan Quraisy.
Proses produksi tanda di sini diracik oleh Rasulullah, meskipun yang mengolahnya adalah para sahabat. Mengapa? Rasulullah berfungsi sebagai pembuat tanda atau “pesan”, sedangkan pengirimnya adalah para sahabat radhiyallahu’anhum.
Memang, dari sekian dialog yang terjadi antara kaum Muslimin dan Quraisy, salah satu yang paling menarik adalah saat Al-Hulais menjadi utusan ( Shahih Al-Bukhari, bab Maghazi, no. 4178-4179; Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam bab peristiwa Hudaibiyah, Maghazi Al-Waqidi bab peristiwa Hudaibiyah, Munir Al-Ghadban, Manhaj Haraki jld 2, Jakarta: Rabbani Press, 2003, h. 31-32; Al-Mubarakfury Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010, h. 388) Kita akan menganggapnya adegan-adegan komunikasi antara utusan Quraisy dengan kaum Muslimin sebagai simbol. Bahkan ditelisik dari kacamata semiotika, komunikasi dengan Al-Hulais terasa begitu unik.
Sebelumnya, mari kita definisikan terlebih dahulu semiotika. Lantaran semiotika banyak ragamnya, maka yang dimaksud di sini adalah semiotika-komunikasi secara general.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda dan segala aspek pemaknaannya. Semiotika merupakan sebuah proses komunikasi yang menurut semiolog, sejarawan dan sastrawan Italia Umberto Eco (1932-2016) memiliki delapan komponen, dalam suatu proses komunikasi (Umberto Eco, A Theory of Semiotics, Bloomington: Indiana University Press, 1976 h. 33). Proses dari mulai pembuat tanda (source) hingga tujuan (destination) komunikasi tersebut: Sumber/pembuat tanda (source)-pengirim (transmitter)-sinyal (signal)-saluran (channel)-sinyal (signal)-penerima (receiver)- pesan (message) dan tujuan (destination). Proses ini bisa disebut juga sistem produksi tanda dari semiotika-komunikasi Umberto Eco.
Analisis semiotik merupakan cara menganalisa melalui pemberian makna terhadap lambang (simbol, tanda) atau teks (Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2007, h. 155). Lambang atau simbol itu tidak harus selalu berbentuk fisik, tetapi bisa pula tindakan ekspresif dan pernyataan-pernyataan.
Proses analisanya sendiri ada dua tahap, yakni -meminjam istilah semiolog Perancis Roland Barthes- tahap denotasi dan konotasi.
Tahap denotasi adalah pemahaman terhadap hal yang paling nyata pada simbol (tanda, lambang), yang tertangkap oleh inderawi di saat memaknai simbol tersebut. Sedangkan tahap konotasi adalah tahap di mana kepercayaan, nilai-nilai dan kultural turut andil dalam pemaknaan terhadap tanda tersebut.
Pendekatan semiotika terhadap proses komunikasi ini menjadi alat ‘kuas’ kita untuk melukis diplomasi kaum Muslimin dengan Al-Hulais dalam ‘kanvas’ peristiwa Hudaibiyah.
Al-Hulais bin Alqamah dari Bani Kinanah adalah seseorang yang masih mensakralkan hal-hal ilahiah (ketuhanan). Ia menjunjung tinggi nilai-nilai Ilahiah, terlebih dalam hal pemuliaan Ka’bah serta peribadahan di dekat Baitullah.
Rasulullah bersabda tentang Al-Hulais, “Laki-laki ini dari suatu kaum yang masih mempedulikan soal-soal ketuhanan. Karena itu, giringlah ke depan wajahnya binatang-binatang hadyu supaya dia tahu.”
Al-Hulais adalah seorang pemimpin Ahabisy, kabilah-kabilah baduwi sekutu Makkah yang bermukim di gunung-gunung sekitar kota suci tersebut. Rasulullah sengaja memerintahkan para sahabatnya untuk memperlihatkan hadyu (binatang kurban) kepada Al-Hulais.
Dalam ranah semiotika, ini dinamakan produksi tanda: Rasulullah sudah menimbang dan memilah secara cepat dalam benaknya, lantaran beliau dibimbing wahyu, punya kecerdasan komunikasi serta pengetahuan mumpuni terhadap adat istiadat serta nilai-nilai bangsa Arab.
Jika perintah Rasulullah terhadap para sahabatnya disimak, terlihat kalimat pertama “Laki-laki ini dari suatu kaum yang masih mempedulikan soal-soal ketuhanan.”
Argumentasi ini ialah -meminjam istilah Umberto Eco- argumentasi ideologis, alasannya kata-kata semacam ini sangat terkait dengan aspek pemaknaan mendalam akan latar belakang nilai-nilai, kultur dan sosial bangsa Arab.
Dalam konteks ini pemaknaan Rasulullah terhadap latar belakang kultur maupun nilai-nilai yang dipercayai Al-Hulais dari kaum Ahabisy. Al-Hulais memperdulikan soal-soal ketuhanan (ilahiah) namun di sisi lain lelaki tersebut jelas seorang musyrik. Ketuhanan yang dimaksud oleh Rasulullah jelas merupakan soal pengagungan terhadap ibadah di sekitar Ka’bah yang mulia.
Argumentasi ini keluar dari lisan beliau lantaran beliau memahami nilai-nilai kultur dan tradisi Arab jahiliyah.”…Karena itu, giringlah ke depan wajahnya binatang-binatang hadyu supaya dia tahu.”
Sedangkan kalimat yang ini adalah argumentasi persuasif, masuk akal dan mudah dipahami para pendengarnya: menggiring ke depan hadyu, dengan maksud agar terlihat oleh Al-Hulais.
Semakin menarik, mari kita simak pula proses produksi tanda serta tahap pemaknaan denotasinya: Sumber atau pembuat tanda (source) di saat Al-Hulais beranjak menuju rombongan kaum Muslimin adalah hewan hadyu. Hewan kurban yang dibawa untuk dikurbankan di Makkah, dalam kasus ini hewannya adalah unta.
Rombongan kaum Muslimin memang membawa serta puluhan unta untuk dikurban di tanah suci Makkah. Penanda hadyu milik kaum Muslimin adalah luka di salah satu punuk dan kalung di leher hewan khas padang pasir tersebut.
Itu terbukti dengan kata-kata Al-Hulais sendiri, “Subhanallah! Tidak layak mereka dihalangi masuk ke Baitullah” itu adalah sinyal (signal) bahwa ia paham pesan yang dikirim oleh kaum Muslimin ini (transmitter). Dengan (channel) kedua matanya ia melihat sendiri hadyu yang sangat banyak, dan dengan kedua telinganya ia mendengar bacaan talbiyah berkumandang.
Sebuah tanda kaum Muslimin sudah siap beribadah ke Makkah. Penanda tersebut jelas mengirim sinyal (transmitter) ke Al-Hulais, sedangkan sinyalnya adalah saat ia berseru tasbih tadi.
Channelnya adalah inderawi dari Al-Hulais yang menyaksikan pemandangan bahwa kaum Muslimin sungguh-sungguh ingin memuliakan Baitullah, bukan ingin cari gara-gara.
Kemudian Al-Hulais juga melontarkan argumentasi ideologis di kalimat pertama, dan argumentasi persuasif di kalimat kedua, “Aku melihat banyak unta telah dikalung dan dilukai salah satu punuknya. Menurutku mereka tidak layak dihalangi masuk mengunjungi Baitullah” ujarnya kepada para pembesar Quraisy.
Padahal waktu itu, Al-Hulais masih agak jauh dari rombongan kaum Muslimin. Begitu pahamnya ia, sampai-sampai Al-Hulais balik lagi sebelum berdialog apa pun dengan Rasulullah.
Balik laginya Al-Hulais ke Makkah merupakan sinyal (signal) berikutnya yang akan dikirim ke Quraisy. Setelah menemui para pembesar Quraisy, Al-Hulais justru coba meyakinkan sesepuh-sesepuh Quraisy jika rombongan kaum Muslimin itu mau berumrah saja.
Perjalanan Rasulullah dan sekitar 1400-1500 orang rombongan kaum Muslimin tersebut bermaksud menunaikan umrah dengan memanfaatkan momentum ibadah haji.
Saat ibadah haji adalah masa bangsa Arab berkumpul di Makkah. Rasulullah siap dengan segala kemungkinan. Kaum Muslimin sendiri membawa senjata meskipun disimpan di dalam peti.
Dalam pengakuannya, beliau dan sahabat-sahabatnya tidak datang ke Makkah untuk berperang melainkan untuk berumrah secara damai. Rasulullah sengaja memberikan pilihan untuk membujuk kaum Quraisy sebagai Ahlu Makkah.
Kalau Quraisy tetap melarang mereka masuk, itu tandanya Quraisy telah melarang orang-orang yang akan mengagungkan Baitullah. Hal ini melanggar tradisi bangsa Arab. Nama Quraisy pun bisa tercoreng karena menghalangi orang-orang yang hendak memuliakan Ka’bah.
Selain itu kaum Muslimin bisa mendapatkan simpati bangsa Arab karena niat baik mengagungkan Ka’bah malah dijawab larangan memasuki Makkah. Bahkan ini termasuk tindakan mengusir pengunjung.
Adapun jika kaum Muslimin diizinkan mengunjungi Baitullah, maka itu kesempatan kaum Muslimin memperlihatkan risalah Islam di depan Ka’bah, kala semua mata bangsa Arab tertuju pada mereka.
Kedua pilihan itu sama-sama akan menjadi pembicaraan seantero jazirah Arab. Kendati demikian, jika kaum Quraisy mengajak berperang, maka Rasulullah dan para sahabatnya pun siap melayani mereka hingga Allah menentukan kehendakNya. Aspek pemaknaan secara general dari tamasya simbolik kita ialah: keberangkatan Rasulullah dan kaum Muslimin dengan segala diplomasi yang dilakukan, justru sedang memperlihatkan kekuatannya dengan cara yang damai (halus) tetapi bisa memukul telak Quraisy, tanpa peperangan.
Citra Quraisy dalam pandangan masyarakat Arab seolah dipertaruhkan, dan celakanya bagi Quraisy, ini menjadi buah simalakama.
Itu mengapa setelah Al-Hulais kembali dan meminta agar Quraisy mengizinkan kaum Muslimin untuk masuk tanah suci, Quraisy malah mencelanya sebagai “orang Baduwi yang tidak tahu apa-apa.”
Quraisy pun akhirnya mengandalkan Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi sebagai diplomat selanjutnya. Fakta dalam sirah Nabawiyah menunjukkan bahwa Urwah memang diplomat yang lebih handal ketimbang utusan-utusan Quraisy sebelumnya.
Oleh: Ilham Martasyabana, penggiat sirah Nabawiyah, Mei 2017