Dialektika, konsep kuno filsafat Yunani yang telah ada sejak zaman Socrates dan Plato. Awalnya merupakan konsep mengenai dialog argumen antara satu sudut pandang (tesis) dengan sudut pandang yang bertentangan (antitesis). Di mana hasilnya adalah sebuah sintesa atau kesimpulan pemikiran yang dianggap lebih matang dari sebelumnya. Metode dialektika semacam ini telah dikenal jauh ribuan tahun sebelum diskursus pemikiran dua filsuf Jerman Georg Hegel dan Karl Marx mengemuka.
Belakangan, konsep dialektika menjadi identik dengan nama Georg Hegel dan Karl Marx. Hegel di dalam karya utamanya Science of Logic dan The Phenomenology of Mind, sedangkan Karl Marx dalam adikaryanya, Das Capital. Keduanya sama-sama menguraikan tentang dialektika. Dialektika yang ini menjelma bak artis yang dipuja oleh jutaan manusia. Baik oleh pengikut setia idealisme Hegel atau kaum Kiri loyalis Karl Marx. Saking populernya dialektika, di kala ideologi Komunis mengemuka abad yang lalu, ia telah menjelma jadi trademark arus utama pemikiran Marxisme. Seakan Socrates dan Plato sebagai soko guru dialektika, hampir terlupakan begitu saja.
Nah, dalam konteks keislaman, ada kemiripan antara konsep dialektika dengan clash (benturan) antara Haq dan Bathil. Keduanya saling berkontradiksi, saling menegasi, bergumul dan terus demikian hingga hari akhir. Hanya saja konsep dialektika sifatnya begitu bebas nilai, begitu atheistik, tidak berhubungan dengan mana yang benar dan mana yang salah. Asalkan ada suatu tesis yang berkontradiksi dengan antitesis lalu saling menegasi, lalu menghasilkan sintesa, hal dan situasi baru, di situlah kita menyebut ada dialektika.
Nantinya sintesa atau sintesis ini menjadi tesis baru yang bakal berhadapan dengan antitesis yang baru, kemudian berkembang menjadi sintesis yang lebih baru. Begitu seterusnya. Tesis dan antitesis ini dalam kehidupan nyata bisa berupa keadaan yang kontradiktif, bisa berupa hal-hal yang berlawanan, bisa dalam bentuk suatu pemikiran, bisa suatu kondisi ekonomi, sosial, politik atau lainnya. Namun yang jelas, karakternya “bebas nilai” seiring dengan karakter Peradaban Barat. Inilah perbedaan mendasarnya dengan apa yang diyakini dalam Islam. Di dalam Islam, bebas nilai itu tidak ada.
Dalam ajaran Islam, saling berbenturnya antara nilai kebaikan dan keburukan, Haq melawan Bathil, bukanlah alasan untuk memilih netral atau tidak memihak. Bukan alasan untuk menjadi “bebas nilai”. Apapun keadaannya, hamba-hamba Allah diwajibkan berada di pihak yang Haq. Selalu di pihak yang benar. Betapapun antara yang Haq dan yang Bathil satu sama lain, saling menegasi, namun orang beriman akan senantiasa di pihak yang Haq. Biar pun pihak yang Haq ada kalanya terlihat sangat lemah. Tidak dalam posisi unggul. Haq itu sendiri merupakan kebenaran dan kebaikan, di dalam nilai-nilai, keyakinan, kondisi maupun perbuatan yang sesuai ajaran Islam. Sedangkan Bathil atau kebatilan adalah lawan dari yang Haq. Antonim dari apapun yang sesuai dengan Islam. Jelasnya, apapun yang bertolak-belakang dengan ajaran Islam.
Ditilik dari sudut pandang peradaban, nilai atau values merupakan ruh utama sebuah peradaban. Bahkan seperti kata Malik Bennabi dalam karya agungnya, Syuruth an-Nahdhah, “peradaban itu tiada pernah muncul kecuali dengan bentuk Wahyu yang turun dari langit.” Artinya, baik itu Peradaban Islam atau peradaban-peradaban yang pernah muncul di tengah sejarah manusia, pastilah bermula dengan semangat sistem agama atau kepercayaan tertentu. Saat masyarakat tersebut meyakini bahwa apa yang mereka hendak capai sebagai makhluk sosial, pasti dijiwai dengan sistem keyakinan dan kepercayaan tertentu. Di situlah peradaban itu dapat muncul dan bangkit.
Senada dengan itu, filsuf Henry Bergson dalam Two Sources of Morality and Religion menyatakan bahwa “kita bisa jumpai di masa lalu dan masa kini, sebuah masyarakat tanpa sains, tanpa seni, tanpa filsafat, namun tidak pernah kita jumpai sebuah masyarakat tanpa agama.” Agama dan keyakinan pasti terdiri dari seperangkat sistem nilai. Dari situ masyarakat mendapat “katalisator” untuk kebangkitan, demi meraih pencapaian. Agama dan keyakinan, di samping bahasa, ialah pilar utama peradaban.
Tidak ada satupun peradaban yang bangkit tanpa keyakinan agama. Kendati pun bisa saja agama itu berbentuk sebagai sistem keyakinan atau ideologi tertentu. Setiap masyarakat manusia yang berperadaban pasti memiliki keyakinan atau agama tertentu yang membuat mereka bereksistensi. Di dalam keyakinan dan agama itulah, terdapat seperangkat sistem nilai yang disepakati oleh suatu masyarakat. Tempat di mana kehormatan, hasrat, sakralitas dan pandangan hidup menjadi tatanan kolektif masyarakat.
Dalam konteks Peradaban Islam dewasa ini, clash of values, benturan antar nilai-nilai, nampak wacana Palestina telah menjadi titik poros benturannya. Jika ditilik, Peradaban Islam seperti lumrahnya peradaban lain, mestilah saling berbenturan dan berkontradiksi dengan sistem nilai peradaban lain. Sebuah keniscayaan benturan antar nilai (values). Sunnatullah kita bilang. Takdir yang digariskan Tuhan. Harus diakui bahwa wacana Palestina adalah episentrum benturan nilai yang ada, paling bergolak dan paling menyita perhatian. Semacam titik pusat dari “gemuruh” benturan yang ada, dengan berbagai dimensinya yang mengejewantah ke berbagai hal. Khususnya di bidang politik, militer dan harga diri Islam (‘izzah) sebagai sebuah umat berperadaban.
Harus diakui. Konflik Palestina dan Zionis Israel merupakan kepanjangan tangan dari “duel klasik” Islam dan Barat. Benturan nilai Islam dengan Barat, jelas episentrumnya menggejala dalam dimensi politik global dengan bentuk konflik Palestina dan Zionis. Di mana berulang-kali Peradaban Barat, dipimpin Amerika Serikat (AS), dengan standar gandanya, di satu sisi mengklaim jawara HAM (Hak Asasi Manusia) dan penjaga perdamaian. Namun di sisi lain mendukung terorisme Zionis Israel. Menjadi supporter penjajahan.
Padahal Zionis Israel memenuhi syarat semua hal negatif dalam politik bernegara, dari mulai terorisme, pendudukan (penjajahan), kolonialisme hingga pembantaian terhadap penduduk negara jajahannya. Bolehlah dianggap, kelakuan politik Zionis Israel bahkan lebih biadab dari pendudukan Belanda di Nusantara selama beberapa abad. Lebih dari perlakuan Inggris Raya kepada negara-negara jajahannya di Abad 19 dan 20.
Di tengah riuh clash of values dalam konflik Palestina-Zionis Israel. Dalam dimensi perilaku perang, dunia sempat terpukau dengan aksi ksatria para Pejuang Hamas dan Mujahidin Palestina secara umum. Bak ksatria dalam dongeng. Para pejuang tersebut selalu berusaha melawan terorisme Zionis yang bersenjata sangat canggih, akan tetapi di sisi lain, para pejuang itu jauh dari kata kejam saat memperlakukan sipil Yahudi. Penduduk sipil negara Zionis Israel.
Akhir 2023 lalu kita melihat perilaku mulia dari para Mujahidin, yang begitu baik memperlakukan tawanan pihak musuh dan orang-orang sipilnya. Bukti video akan hal itu menyebar ke seluruh dunia. Di tengah kecanggihan media sosial, yang merupakan alat efektif propoganda. Dunia melihat begitu kontrasnya sikap ksatria itu dengan perlakuan Zionis Yahudi atas nama bela negara Israel, terhadap penduduk sipil Palestina. Kebiadaban perilaku terorisme Zionis menyasar bahkan ke orang-orang lemah (bayi, ibu-ibu, dan kaum jompo). Kaum sipil kerap menjadi sasaran pembantaian dan penindasan. Tak terhitung pula, berapa banyak kasus penyiksaan terhadap penduduk sipil selama puluhan tahun pendudukan. Baik mereka yang bertemu tentara Israel di ruang publik, atau pun mereka yang disiksa karena jadi tawanan di penjara.
Dari dimensi budaya dan bahasa. Terang saja Palestina menjadi representasi bagi umat Islam yang punya bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu, corak budaya Islam. Palestina dianggap wakil Islam. Juga wakil Arab. Dalam wacana Islam-Barat. Umat Islam merasa bersaudara dengan Palestina, solidaritas atas nama Ukhuwah Islam. Menembus batas-batas ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah Air). Di lain pihak, lawannya ialah kaum dianggap sebagai “musuh abadi”, yakni kaum Yahudi ekstrim. Versi terburuk dari Judaisme sendiri, yakni Zionisme. Mereka melegalkan terorisme, pemusnahan penduduk, dan kolonialisme dengan dalih bela negara. Dengan sokongan dana, moril, politik, militer dan ekonomi negara-negara Barat, terutama AS dan Inggris.
Dilihat dari geopolitik, Palestina ibarat berada jantung Peradaban Islam. Letaknya di tengah-tengah Dunia Islam, antara masyrik (Timur) dan Maghrib (Barat). Apalagi di sana ada kiblat pertama dan kota suci ketiga Islam, Baitul Maqdis di kota al-Quds. Dalam tradisi benturan Peradaban Islam dan Barat, 1000 tahun lalu, di masa Perang Salib pun, kota al-Quds dan Baitul Maqdis memang menjadi episentrum benturan-benturan peradaban yang ada. Kerap menjadi alasan peperangan, kerap mendapat legitimasi dari nash-nash suci agama. Apapun keadaannya. Baik itu mempertahankan atau mengambil-alih tempat suci ini, akan selalu mendapat dukungan luas dari masyarakat peradaban yang terlibat konflik.
Kita bisa simpulkan, siapapun yang mengambil alih atau mempertahankan kota suci ini, baik dari kalangan beriman atau tidak beriman, baik dari pihak Haq atau pihak Bathil, dipastikan akan mendapatkan dukungan luas. Mendapat dukungan dari lintas bangsa dari teman-temannya yang terlibat konflik tersebut. Sejarah telah membuktikan hal itu.
Ketika masa Khalifah Umar bin Khaththab mengambil-alih kepemimpinan Palestina, Al-Quds dan Baitul Maqdis. Tidak ada satupun pihak Muslim yang tidak mendukung futuhat Baitul Maqdis. Padahal kaum Muslimin saat itu telah terdiri dari lintas suku dan bangsa. Futuhat Syam secara umum di masa Khulafaa Rasyidin direstui oleh segenap kaum Muslimin karena mendapat legitimasi dari nash-nash tentang Jihad dan Dakwah menyebarkan Islam rahmatan Lil ‘alamiin.
Bahkan di pihak Kristen Romawi pun, ada juga yang rela dan senang, jika yang memimpin kota suci itu adalah kaum Muslimin. Ketimbang dikuasai Romawi atau Persia yang banyak mempraktekkan kezaliman dan rasisme. Supremasi bule kulit putih (Bangsa Romawi) atau supremasi bangsa Persia. Artinya begini. Meskipun satu keyakinan (satu agama, satu aqidah) baik dengan bangsa Romawi atau pun Persia. Betapapun mendukung penuh politik Romawi atau Persia, warga masyarakat yang non-bule kulit putih atau non-Persia tetap saja dianggap warga kelas dua, tetap di bawah kelas sosial bule kulit putih, tetap di bawah kelas bangsa Persia. Kita tahu sebelum Peradaban Wahyu muncul, Romawi dan Persia kerap saling berebut tanah Syam (di mana Palestina termasuk di dalamnya). Mereka adalah dua adidaya, musuh abadi. Suatu peperangan perebutan Syam yang dilakoni mereka, turut diabadikan oleh al-Qur’an surat ar-Rum.
Lalu kita menelisik saat pasukan Eropa Salib, mengambil alih kota al-Quds dengan agresi tahun 1096-1099. Perang Salib I (pertama). Dengan restu Urbanus II, Paus Kristen saat itu, dan didukung penuh kerajaan-kerajaan Eropa lintas bangsa. Mereka semua punya semangat yang sama untuk mengambil-alih kota suci al-Quds. Ditambah doktrin membunuh sebanyak mungkin Muslim pengikut Mahomet (ejaan Eropa Abad Pertengahan, untuk menyebut Nabi Muhammad SAW) untuk janji Surga dan pengampunan dosa. Doktrin demikian membuncah di seluruh Eropa Kristen saat Perang Salib pertama. Oleh karena itu selain Paus Urbanus II dan Peter the Hermit, gegap gempita agresi ke al-Quds disambut oleh raja-uskup-panglima Eropa di masa itu. Sebut saja Godfrey dari Bouillon, Raymond IV dari Toulouse, Bohemond dari Taranto, Adhemar dari Le Puy, Hugh dari Vermandois, Stephen dari Blois, Robert II dari Normandia hingga Kaisar Byzantium Alexios I Komnenos (Carole Hillendrand, Perang Salib: Sudut Pandang Islam, Penerbit Serambi).
Sejak dahulu, wacana Palestina akan mengerucut kepada kota suci al-Quds dan Baitul Maqdis. Begitu pula kaum Kristen. Wacana ini akan selalu mendapat legitimasi dari agama. Bahkan Paus Urbanus II saat itu berpidato dengan kata-kata:
“Rebutlah tanah itu dari ras yang jahat, dan taklukkanlah untuk diri kalian sendiri! Tuhan telah mengkaruniakan kepada kalian melebihi segala bangsa, kemuliaan yang besar dengan persenjataan. Oleh karena itu, lakukanlah perjalanan ini untuk pengampunan dosa-dosa kalian, dengan jaminan kemuliaan Kerajaan Surga yang tidak akan binasa.” (Robert the Monk, Historia Hierosolymitana)
Tambahan versi Fulcher dari Chartres dalam Gesta Francorum Jerusalem Expugnantium, bahwa Paus Urbanus menjamin:
“Semua orang yang mati di tengah perjalanan, baik di darat atau di laut, atau dalam pertempuran melawan orang-orang kafir (Muslim), akan segera mendapat pengampunan dosa. Ini saya berikan kepada mereka melalui kuasa Tuhan yang dengannya saya menjamin.”
Tak ketinggalan semangat. Pasukan kaum Salib Eropa menjawab seruan sang paus dengan slogan yang terkenal di masa Perang Salib, “Deus vult!” (Tuhan menghendakinya!).
Di lain pihak, kaum Muslimin yang kalah perang saat Perang Salib I, telah menjadi korban pembantaian keji Eropa Salib. Kehilangan al-Quds menjadi puncak nestapa Dunia Islam. Membuat kesedihan, putus asa dan kehinaan bangsa-bangsa Muslim di zaman itu. Sekali lagi hal ini membuktikan, konflik yang melibatkan negeri Palestina, dengan kota Al-Quds dan Baitul Maqdis akan didukung penuh, oleh teman-teman satu peradabannya. Dalam konteks ini baik pihak yang mengambil-alih atau pun yang mempertahankannya.
Di masa selanjutnya, masa kebangkitan Islam. Sultan Nuruddin Zanki ketika memiliki visi pembebasan Baitul Maqdis, ia didukung penuh oleh banyak pihak. Dimungkinkan karena pribadinya yang merupakan pemimpin berwibawa, shalih dan adil. Lalu berpuncak pada muridnya, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, di masa kampanye militernya untuk tujuan pembebasan Palestina, al-Quds dan Baitul Maqdis, sang sultan mendapat dukungan penuh dari raja-raja kota dan ulama lintas Madzhab, suku dan bangsa. Padahal mafhum, sebelum era Nuruddin dan Shalahuddin, para raja dan ulama di masa itu gemar berkonflik, tak jarang saling memprovokasi dan menjatuhkan satu sama lain. Kurang dari satu abad, kekalahan umat Islam di Perang Salib I, tergantikan dengan gemilangnya kemenangan pasukan Shalahuddin al-Ayyubi. Islam kembali berjaya di al-Quds dan Palestina. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa kota al-Quds (Jerussalem) dan Baitul Maqdis memiliki arti sakral tersendiri baik bagi umat Islam maupun Eropa Kristen (Barat).
Dewasa ini, saat cengkraman penjajah Zionis mendirikan negara ilegal bernama Israel, sebagian besar umat Kristen kerap latah mendukung mereka. Fenomena itu cukup terlihat tidak saja secara global, namun juga di bumi Indonesia. Lagi-lagi, besar kemungkinan karena Jerussalem (nama lain kota al-Quds), sebagai kota utama di Palestina, dianggap kota suci bagi kaum Nasrani. Kampung halaman Yesus dan Maria. Tempat Bait Suci. Mereka nampak punya kecenderungan agar yang memimpin wilayah itu adalah yang dianggap sukunya Yesus sendiri, yakni kaum Yahudi. Umat Kristen dari berbagai belahan dunia, merasa lebih dekat dengan Yahudi ketimbang dengan Islam.
Apalagi pengalaman Perang Salib dulu, cukup membuat luka hati bagi mereka. Baik Umar bin Khaththab maupun Sultan Shalahuddin dengan gemilang merebut al-Quds (Jerussalem) dari tangan leluhur mereka. Hakikat benturan peradaban yang pernah digaungkan wacananya oleh Samuel Huntington, seorang guru besar Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Harvard, sejatinya adalah benturan nilai. Benturan sistem nilai yang dianut oleh Islam dan Barat. Al-Quds atau Jerussalem dianggap sangat sakral oleh berbagai pihak, dari Islam, Kristen hingga Yahudi. Kesakralan itu berasal dari nilai-nilai aqidahnya.
Wacana Palestina, menjadi episentrum benturan nilai. Clash of Values. Ingat wacana Palestina, berarti mengingat al-Quds, Masjidil Aqsha-Baitul Maqdis, mengingat Isra dan Mi’raj, kota suci, Bait Suci, bukit suci, mengingat Yesus, Maria, mengingat Tanah yang Dijanjikan Nabi Musa, hingga mengingat proses sejarah selama ribuan tahun. Dialektika ini akan senantiasa ada, yang harus dipandang sebagai proses pertempuran (kontradiksi) Haq dan Bathil. Bukan sekedar “rebutan tanah”, berebut kepentingan atau supremasi bangsa.
Jika sudah berbicara Palestina. Orang beriman dan tidak beriman sama-sama akan menganggapnya sebagai medan semantik dari kesakralan yang ada. Betapapun mereka yang mewacanakan isu HAM, persamaan, keadilan dan demokrasi saat berbicara tentang Palestina, namun tinta sejarah nyata tersurat jika Palestina adalah isu sentral antar peradaban. Bermakna kesakralan. Bermakna identitas. Bermakna solidaritas. Bermakna: di mana anda berpihak?
Kristen dan Yahudi dari Peradaban Barat, begitu bergelora jika menyangkut urusan Jerussalem. Kota sucinya. Bagian dari identitasnya. Tentunya kalau seorang Muslim tidak menjadikan Palestina (al-Quds, Baitul Maqdis) sebagai isu sentralnya, bukan hanya kehilangan nilainya sebagai seorang Muslim, tapi turut kehilangan kesadaran sejarahnya. Akan hilang pula identitasnya.
Teringat quote Sayyidina Umar bin Khaththab dalam kitab Majma’ az-Zawa’id di masa penaklukan Baitul Maqdis,
نعم المسكن بيت المقدس، القائم فيه كالمجاهد في سبيل الله، وليأتين زمان يقول أحدهم ليتني لبنة في بيت المقدس
“Sebaik-baik tempat tinggal adalah Baitul Maqdis. Orang yang hidup di sana laksana Mujahid di jalan Allah. Dan sungguh akan tiba zaman di mana seorang berkata, ‘Andai saja aku ini adalah bata dari Baitul Maqdis.”
Kita bisa aminkan beberapa poin berikut: (1), Dialektika peradaban yang terjadi adalah proses bergumul antara Haq dan Bathil. Menentukan di mana kita berpihak. Menentukan kualitas Iman dan Islam setiap hambaNya. (2), Wacana Palestina adalah titik poros dialektika tersebut. Episentrum dari gemuruh dan gejolak Clash of Values (Benturan Nilai) yang ada, antara Islam dan Barat. Keduanya mewakili masyarakat berperadaban yang saling berkontradiksi. Sebagai Muslim kita mesti yakin di pihak yang Haq, sedangkan lawan di pihak Bathil. Betapapun sedang lemah, tidak unggul, namun pertolongan Allah dan kemenangan senantiasa kita harapkan ke depannya. (3), Wacana Palestina niscaya berkonsekuensi bicara kota suci al-Quds dan Baitul Maqdis. Bicara Jerussalem, bagi Yahudi dan Kristen juga berbicara tentang sakralitas keyakinan mereka. Kendati sudah dibungkus oleh konsep modern seperti HAM, persamaan dan demokrasi, Peradaban Barat tidak bisa menutupi gelora ingatannya tentang Crusade (Perang Salib). Menang-kalah, jatuh dan bangkitnya peradaban mereka, tersimbolisasi dengan penguasaan mereka terhadap kota suci al-Quds. Sejak Perang Dunia I, Inggris (wakil Barat) telah menguasai Palestina dan al-Quds. Lalu menyerahkan kedaulatan Bumi Para Nabi dan Rasul itu ke tangan Zionis. Sejak itu umat Islam belum pernah benar-benar berdaulat kembali, baik terhadap negerinya sendiri maupun Palestina. (4), Wacana Palestina akan “memancing” gelora solidaritas. Memanggil identitas. Jati diri aqidah dan peradabannya. Sejak dulu, pihak mana pun yang mengambil-alih dan yang mempertahankan bumi al-Quds (Jerussalem) akan didukung oleh teman-teman seperadabannya. Selalu kita simak, tragedi Palestina berulang kali telah menimbulkan simpati Dunia Islam. Di lain pihak, siapapun yang coba-coba ganggu Zionis Israel, sebagai wakil Peradaban Barat di Timur Tengah, akan memancing solidaritas negara-negara Barat. Terlepas dari apapun kepentingan yang mereka miliki bagi masing-masing negara.
Palestina adalah identitas. Kehormatan. Solidaritas. Al-Quds ialah kota suci. Bumi keberkahan. Bumi para Nabi dan Rasul. Tempat Isra dan Mi’raj. Warisan sakral Rasulullah. Tempat beliau mengimami para Nabi dan Rasul. Sejarah Islam. Sejarah kegemilangan dan kejayaan.
إن للقدس مكانتها الدينية المعروفة بين القلوب، وفي ثنايا الأنفس البشرية
“Sungguh kota al-Quds memiliki kedudukan tinggi dalam agama yang sudah banyak diketahui oleh setiap hati dan jiwa-jiwa manusia” (Imam Ibnul Atsir, dalam an-Nihayah fii al-Gharib min al-Ahadits).
*Tulisan di Majalah Tabligh edisi April 2024
*Penulis : Ilham Martasyabana, penggiat Sejarah Islam dan Founder Blueprint Sirah Nabawiyah