Saat Justinianus I, kaisar Romawi yang tersohor di abad keenam masehi itu mengendaki kejayaan ekonomi bagi Romawi Byzantium, ia membuat jaringan pasar-pasar utama di dekat wilayah kekuasaan Romawi Byzantiun, termasuk Syam, Afrika dan Jazirah Arab. Perdagangan ini tujuan utamanya meminimalisir kekuatan ekonomi Persia, yang tidak mungkin direbut jika tidak menguasai perdagangan, dan pelabuhan-pelabuhan utama.
“Pada saat itu, pelabuhan Ailah berada dalam kekuasaan Byzantium. Ini merupakan pelabuhan kapal dagang yang ingin mengantarkan barang dagangan dari India ke Palestina dan Syiria. Pelabuhan Clysma juga berada di bawah kekuasaan Byzantium.” (Sejarah Arab Sebelum Islam vol. IV, h. 128). Pelabuhan Ailah kini bernama Aqabah di Jordania, pelabuhan legendaris di wilayah Syam-Romawi, sedangkan Clysma sekarang berada di terusan Suez, Mesir, pada masa dahulu menjadi tempat pelabuhan bagi biji-bijian dan bahan-bahan tekstil.
Setiap kapal barang dagangan yang hendak menjual hingga ke Laut Mediterania, dipastikan kapal barang tersebut akan berlabuh di Clysma.
Dalam konteks persaingan dagang, politik dan militer Byzantium dengan Persia, di abad keenam ini, menarik menyimak penuturan Jawwad Ali, “Untuk merealisasikan langkah-langkah Justinianus, Byzantium tidak memiliki jalur kecuali melalui Laut Merah lalu masuk ke Samudera Hindia. Ini akan mengantarkan menuju India dan pulau Ceylon (Sri Lanka). Semua itu tidak akan terwujud kecuali dengan dua kekuatan, yakni militer untuk menjaga dari serangan, dan politik dengan melakukan lobi-lobi terhadap pemerintahan Habasyah yang pada saat itu berkuasa atas wilayah Yaman.
Selanjutnya ia menjalin hubungan harmonis dengan kabilah-kabilah di jazirah Arab dan Syam.Ia juga mengajak mereka untuk menjalin hubungan diplomatis dengan Byzantium sekaligus memprovokasi mereka melawan Persia” (h. 128, ibid).
Pada masa Justinianus juga terjalin hubungan diplomatik dengan Habasyah (kini Ethiopia). Pada masa itu Habasyah memang sudah Kristen, menurut Jawwad Ali, sangat memungkinkan kalau hubungan Byzantium dan Habasyah dibangun atas dasar agama (h. 129). Pada masa ini juga sebagian tokoh kabilah-kabilah seperti Bani Ghassan, Kalb, Tanukh, dan Judzam mulai menganut agama Kristen, serta meninggalkan kepercayaan lama mereka. Di masa Rasulullahﷺ hingga masa Umar bin Khaththab kabilah-kabilah beragama Nasrani ini memang menjadi perisai bagi Romawi, baik saat menghadapi Kekaisaran Persia maupun saat menghadapi kebangkitan Islam.
Justinianus mengirim diplomat andalnya, Julianius, agar raja Habasyah yang bergelar An-Najasyi dan raja Kristen di Yaman, Esimphanus, ikut serta mendukung Byzantium seraya memusuhi Persia. Ternyata baik An-Najasyi dan Esimphanus sama-sama tidak menyukai Kekaisaran Sasanid Persia. Kekaisaran Persia yang memiliki kekuasaan besar pun kini berhadapan dengan negeri-negeri satelit Romawi Byzantium yakni Habasyah, Yaman Kristen, dan kabilah-kabilah Arab yang tersebar utamanya di Utara Arab.
Setelah itu seorang tokoh bernama Abrahah berkuasa di Yaman. Pasca Abrahah memegang tumpu kekuasaan pun, agen-agen Persia dan loyalisnya yang Paganis-Majusi ternyata masih bisa mengadakan perlawanan terhadap Abrahah yang Nasrani. Akhirnya, menurut Jawwad Ali, Abrahah diprovokasi agar memberantas kekuatan politik dan militer Persia di Yaman sampai ke akar-akarnya.
Menurut Procopius dalam History of Wars, dikabarkan bahwa Abrahah sempat meremehkan kekuatan Persia di Yaman. Untung saja, gubernur Habasyah ini masih bisa memenangkan perang. Procopius dari Caesarea, merupakan sejarawan utama Byzantium abad keenam, ia mencatat Abrahah dalam lisan Arab sebagai “Abramos”. Salah satu karya besarnya History of the Wars yang berjilid-jilid, merupakan sumber primer utama bagi perpolitikan dan militer Byzantium di abad keenam, terutama masa Kaisar Justinianus.
Persia sendiri punya kekuasaan juga di Yaman, oleh karena itu negeri Yaman pada masa itu menjadi rebutan antara ideologi Kristen dan agama Pagan-Majusi Persia. Di masa inilah mencuat ke permukaan nama Abramos atau Abrahah. Penguasa Kristen Yaman sebelumnya, Esimphanus, tidak secerdik dan sekuat Abrahah. Oleh karena itu segeralah Byzantium mendekati Abrahah, demikian sejarawan Byzantium Procopius mengabarkan kepada kita, dalam History of the Wars vol. I. XX, h. 1-13. Benar saja, di masa itu Abrahah memang menjadi penguasa mutlak Yaman, kendati tokoh-tokoh politik pro-Persia tetap ada di negeri ujung selatan Arabia tersebut.
Pihak Byzantium mendapat keuntungan pasca Abrahah berkuasa mutlak di Yaman. Kapal-kapal Byzantium menjadi bebas akses, maklum saja yang berkuasa di Yaman dan Habasyah sama-sama loyalisnya. Sama pula agamanya. Sebenarnya, ini merupakan langkah-langkah Byzantium untuk memerangi Persia, dan berkuasa penuh atas perpolitikan maupun perekonomian di Arabia dan Syam.
Pada masa setelahnya, tahun penyerangan tentara Abrahah ke Makkah kelak disebut Tahun Gajah, tahun yang dikenang seluruh dunia sebagai tahun kelahiran Rasulullahﷺ. Motif Abrahah mengerahkan Ashabul Al-Fiil (pasukan ber Gajah) bukan hanya menghancurkan Ka’bah semata, Allah berfirman “Alam yaj’al kaydahum fii tadhliil” (QS Al-Fiil: 2). Kata kayd di sini bermakna “tipu daya.”
Imam Ar-Razi menerangkan dalam Mafatih Al-Ghaibnya, “Meski rencana Abrahah menyerang Ka’bah diumumkan secara terbuka, tapi menariknya, Allah menyebut gerakan Abrahah tersebut sebagai “kayd” (muslihat) atau tipu daya, untuk mengisyaratkan bahwa ada motif tersembunyi yang lebih strategis dan penting.”
Katedral Al-Kullays yang dibangun Abrahah sesungguhnya berupa eksploitasi agama untuk kepentingan politiknya, dalam hal ini untuk kepentingan politik negeri Kristen Habasyah, di mana Abrahah sebagai gubernur Yaman merupakan bawahan langsung An-Najasyi raja negeri Habasyah (Ethiopia saat ini). Dalam hal ini, sumber-sumber dari Islam seperti Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan Anshabul Asyraf Al-Baladzuri, mengabarkan pada kita bahwa Abrahah ini sebenarnya adalah bawahan An-Najasyi, hanya saja berkuasa di Yaman.
Negeri Yaman sebelum Aryath (mungkin versi Byzantium Esimphanus?) dan Abrahah berkuasa merupakan negeri di bawah pemerintahan Himyar, yang loyal ke imperium Persia, menurut sumber-sumber sejarah Islam seperti Sirah Ibnu Hisyam dan Anshabul Asyraf (Jilid 1).
Sedangkan menurut sumber sejarawan Byzantium, Procopius, pada saat itu Nasrani sebenarnya sudah berkuasa di Yaman, hanya saja mendapat perlawanan dari loyalis pro-Persia di Yaman. Akan tetapi baik sumber Islam maupun Byzantium sepakat bahwa Abrahah adalah Nasrani.
Kalau hanya motif ekonomi, menguasai Makkah adalah pilihan yang masuk akal, lantaran kota Makkah itulah pusatnya Jazirah Arab, juga kota paling dihormati. Nyatanya, menurut sumber-sumber Islam, Habasyah mencaplok Yaman melalui Habasyah serta mengalahkan pemerintahan Himyar secara telak, sekutu Persia.
Ternyata ada hubungannya dengan persekutuan Habasyah dengan Byzantium. Byzantium kala itu diduga mengarahkan An-Najasyi agar membuat kebijakan yang akan melemahkan pengaruh Persia di Yaman. Hal ini juga yang diamini oleh Jawwad Ali dalam narasinya saat membahas “Kondisi Umum Politik Jazirah Arab saat Islam Muncul” (Sejarah Arab Sebelum Islam, vol. IV).
Abrahah, di masa hidupnya menurut sumber Byzantium, Procopius, Abrahah sempat menjadi budak dari bangsawan Romawi Byzantium. Pada saat berkuasa di Yaman, selain berkedudukan sebagai Gubernur Habasyah, ia juga penguasa di Yaman. Ia semacam penguasa boneka bagi politik Byzantium di selatan Arabia.
Sebagai pemimpin negara satelit Habasyah, dan boneka negara adidaya Byzantium, saat hendak menghancurkan Ka’bah melalui penyerangan pasukan bergajahnya itu, Abrahah bukan sekedar akan memindahkan pusat keagamaan bangsa Arab dari Makkah ke negeri kekuasaannya di San’a, Yaman, tetapi juga memindahkan pusat keramaian, ekonomi dan kehormatan ke negerinya (Yaman).
Abrahah telah menyiapkan ketedral Al-Kullays sebagai ‘pengganti Ka’bah’ sekaligus rencana menghilangkan pengaruh Persia di jazirah Arab dengan menghancurkan berhala-berhala bangsa Arab yang kala itu banyak diimpor dari Persia. Ingat, Abrahah menjadi poros kepanjangan konflik negara adidaya Byzantium dan Persia.
Apa alasan Abrahah begitu loyal sebagai boneka Byzantium? Habasyah, sebagai negeri asal Abrahah memang berpihak ke Romawi Byzantium. Kerajaannya ini memang di bawah pengaruh Romawi Bizantium (semacam negara sekutu, loyalis negara adidaya), salah satunya mungkin karena persamaan aqidah Nasrani meskipun sekte atau ‘mazhabnya’ tidak harus sama. Berbeda dengan Persia yang murni paganisme, menyembah api dan dewa-dewa. Persia beragama Majusi.
Ka’bah di Makkah yang kala itu dijadikan pusat keagamaan paganisme Arab pun hampir saja dihancurkan jika Allah tidak menjaganya melalui burung-burung yang membawa batu-batu pelumat. Waktu itu burung-burung tersebut menghancurkan pasukan bergajahnya Abrahah. Kekuatan Kristen Yaman pun hancur bersama dengan tewasnya Abrahah, sehingga beberapa waktu kemudian Persia berhasil mengambil-alih pengaruh politik kembali di Yaman.
Di tulis oleh : Ilham Martasyabana, penggiat sejarah Islam