“Allah menakdirkan Malik Al-Muzhaffar Syaifuddin Quthuz sebagai penyelamat saat agresi Tatar Mongol hampir saja memusnahkan umat Islam. Ia adalah lelaki terbaik pada masa itu, pemimpin thaifah manshurah dan amirul mujahid, semoga Allah menerima beliau sebagai syuhada.”
Syaifuddin Quthuz ialah seorang panglima sekaligus pahlawan Islam dalam Perang Ain Jaluth di bulan Ramadhan tahun 568 H/1260 M. Perang Ain Jaluth merupakan perang yang paling menentukan ‘nasib’ umat Islam dan tentara Tatar Mongol pimpinan Kathoghonuwin (kadang dieja Kitbuqa Noyen). Kathoghonuwin sendiri merupakan panglima andalan Hulagu Khan, kaisar Mongol yang memimpin penghancuran kota Baghdad dua tahun sebelum meletusnya Perang Ain Jaluth.
Sebagai cucu dari Jengis Khan, Hulagu memiliki kekuasaan di imperium Mongol bagian Barat. Sepupu Kubilai Khan (penguasa Mongol di imperium Timur) itu tidak sempat menyaksikan panglima dan tentaranya dihancurkan para mujahid kaum Muslimin.
Dalam kitab Al-Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir, Al-‘Ibar wa Diwan Ibnu Khaldun, Dzail Mir’ah Zaman Syaikh Qutubuddin dan Tarikhul Khulafa Jalaluddin As-Suyuthi disebutkan, kala itu tahun 658 H atau tahun 1260 Masehi, umat Islam sedang tidak memiliki seorang khalifah.
Eksistensi umat Islam pun sangat rawan akibat dahsyatnya agresi dan invasi pasukan Tatar Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Saking dahsyatnya invasi dan genosida yang dilakukan Tatar Mongol, sampai-sampai wilayah Islam di Asia saat itu hanya tinggal Jazirah Arab dan separuh Syam. Sisanya (Baghdad, Halb dan dunia timur) dijajah, dimusnahkan dan sebagian dijadikan budak oleh bangsa Tatar Mongol. Menurut pakar sejarah Islam seperti Muhammad Sayyid Al-Wakil, invasi Tatar Mongol itu lebih menghancurkan dan brutal ketimbang invasi Pasukan Salib Eropa satu setengah abad sebelumnya. Bahkan ada yang menggambarkan bahwa kekejaman pasukan Tatar Mongol terhadap kaum Muslimin lebih mengerikan dari pada gambaran Dajjal sekalipun. Alasannya, Dajjal tidak akan membunuh pengikutnya, sedangkan Tatar Mongol waktu itu membunuh semua manusia tanpa terkecuali, paling tidak manusia selain bangsa Tatar Mongol akan dijadikan budak atau tawanan, yang tiap saat bisa saja disiksa serta dibunuh.
Singkat cerita, tahun itu amir Damaskus, Malik An-Nashir mengetahui rencana pasukan Tatar untuk menguasai seluruh Syam (sekarang Suriah, Libanon, Palestina, dan Yordania), satu-satunya kawasan Asia selain jazirah Arab yang masih belum terjamah pasukan Tatar Mongol. An-Nashir berniat melupakan permusuhannya dengan penguasa Mesir, Muzhaffar Quthuz atau yang kemudian biasa disebut Syaifuddin Quthuz. An-Nashir mengirim utusan bernama Kamaluddin bin Adim (menteri informasi Syam), ke Mesir guna mengabarkan kepada Syaifuddin Quthuz tentang semakin dekatnya Tatar Mongol ke pusat negeri Syam, Damasqus, karena mereka sudah tiba di Halb (sekarang Aleppo) pada bulan Safar 568 H/1260 M. Sebagaimana dicatat dalam kitab Al-Bidayah wa Nihayah beberapa waktu sebelumnya, pada tanggal 12 Shafar tahun yang sama, Tatar Mongol memasuki Halb, awalnya mereka membuat perjanjian damai dengan penduduk Halb namun pada akhirnya Tatar Mongol mengkhianati perjanjian, lalu membunuh kaum Muslimin Halb, menjarah harta benda, menawan wanita serta anak-anak, mempekosa para wanita Muslimah, persis serangan mereka ke Baghdad. Halb sendiri relatif dekat dengan perbatasan Damasqus, jantung negeri Syam.
Setelah mendengar informasi dari Kamaluddin, tokoh-tokoh Mesir langsung mengadakan rapat mendadak. Suasananya menjadi mencekam. Rapat ini dihadiri para pembesar negeri Mesir, seperti hakim besar Mesir, Badruddin Sinjari; ulama besar Syaikh Izzuddin bin Abdussalam yang berjuluk shulthan al-ulama (raja para ulama), dan Syaifuddin Quthuz sendiri. Mereka membahas informasi penting dari Kamaluddin tersebut secara detail. Seorang peserta rapat mengusulkan meminta sumbangan rakyat untuk biaya perang, hal tersebut disetujui oleh Syaikh Izzuddin bin Abdussalam, sebagai Syaikhul Islamnya Mesir ketika itu, pendapat tersebut akhirnya disepakati. Hal ini memang tepat lantaran umat Islam dilanda situasi sangat genting yang mempertaruhkan eksistensi mereka. Tentu mengingat jumlah besar dan kekuatan pasukan Tatar Mongol yang belum pernah terkalahkan. Sumber lain menyebutkan, dalam kitab As-Suluk fii Ma’rifah Duwal Al-Muluk, karangan Al-Maqrizi, sejarawan Muslim yang juga murid Ibnu Khaldun ini menyebutkan, bahwa pasukan Hulagu Khan sendiri setelah menjajah separuh Syam mengirim surat kepada Syaifuddin Quthuz, dengan angkuh ia meminta Syaifuddin Quthuz untuk menyerahkan bumi Mesir dengan ‘cuma-cuma’.
Hulagu juga menyombongkan diri dengan menamakan kelompoknya (Tatar Mongol) dengan sebutan “tentara Allah di muka bumi”, yang mana Allah menciptakan mereka dari kemurkaanNya. Menarik dicatat, bahwa penguasa Tatar Mongol tersebut meskipun musyrik namun menamakan diri mereka “tentara Allah”. Tetapi menurut mereka, mereka diciptakan Allah dari kemurkaanNya, begitulah yang diyakini oleh mereka.
Amir Mesir saat itu sebenarnya adalah Nuruddin Ali Al-Manshur sedangkan Syaifuddin Quthuz hanyalah penasihat dan panglima besarnya. Kala itu imarah Mesir menjadikan amirnya sebagai simbol, sedangkan jenderal pasukan (panglima) ialah penguasa sebenarnya karena di tangan merekalah kekuatan militer berada. Jadilah Syaifuddin Quthuz mencopot kedudukan amir simbolis tersebut, Nuruddin Ali Al-Manshur memang masih kecil dan belum begitu paham masalah umat yang sedang dilanda kegentingan ini. Syaifuddin meminta maaf atas pencopotan amirnya sendiri ini, namun tindakannya dibenarkan para ulama dan hakim-hakim besar saat itu. Akhirnya Syaifuddin Quthuz sendiri yang menjadi amir.
Syaifuddin Quthuz berkata kepada Ibnul Adim “Umat Islam harus memiliki seorang sultan diktator yang berani memerangi pasukan Tatar, sedangkan anak kecil ini (Nuruddin Ali) tidak becus mengurus kerajaan.”
Syaifuddin sadar bahwa Tatar Mongol pasti mengincar Mesir jika telah berhasil menundukkan seluruh Syam, sebagai pemimpin dan panglima Mesir ia akhirnya berinisiatif untuk menghimpun pasukan serta menghadang pasukan raksasa Tatar Mongol.
Jadilah kaum Muslimin Mesir ramai-ramai berangkat. Bukan hanya tentara tapi juga rakyatnya yang berani. Berangkatnya pasukan kaum Muslimin ini melewati wilayah-wilayah pantai yang masih dikuasai Pasukan Salib, oleh karena itu rombongan Syaifuddin Quthuz membuat perjanjian damai dengan pihak Salib Eropa agar bersikap netral terhadap perang yang akan berkobar ini.
Setibanya di tanah Ain Jaluth, rakyat Mesir sebenarnya dilanda ketakutan yang amat sangat karena pamor ketangguhan, kekuatan dan besarnya jumlah pasukan Tatar Mongol yang hingga saat itu tiada tandingannya. Bukan hanya rakyat biasa, bahkan para komandan tentaranya pun sebagian masih ada yang ragu menghadapi pasukan Tatar Mongol. Niat tulus panglima Syaifuddin Quthuz-lah yang membakar semangat kaum Muslimin untuk melawan agresi Tatar Mongol, saat itulah panglima besar ini mengeluarkan kata-katanya yang terkenal dengan lantang, “Aku akan memerangi pasukan Mongol, sekalipun sendirian. Maka siapa yang ingin mengikutiku, maka ikutilah aku. Dan siapa yang ingin berdiam dan tidak memiliki andil, silahkan berdiam dan pergi dengan urusannya sendiri.” Kata-kata ini disebutkan dalam kitab As-Suluk-nya Al-Maqrizi. Nampaknya kata-kata ini membakar hati prajurit dan kaum Muslimin untuk berjuang bersamanya.
Pasukan Syaifuddin Quthuz bukan hanya dari kalangan tentara saja melainkan juga rakyat biasa. Tidak hanya dari penduduk Mesir melainkan dari berbagai negeri Muslim yang tanah airnya dirampas oleh Tatar Mongol. Mereka semua ingin turut serta memenuhi panggilan berjihad memerangi kaum musyrik Tatar Mongol. Di lain pihak, pasukan Tatar di bawah pimpinan Kathoghonuwin sesungguhnya telah diberi informasi akan ketangguhan pasukan Syaifuddin Quthuz.
Asyraf, penguasa Hims, dan Mujir bin Zanki, keduanya telah memperingatkan Kathoghonuwin akan ketangguhan pasukan Syaifuddin Quthuz, namun Kathoghonuwin sombong, tidak mau mendengar nasihat Asyraf dan Ibnu Mujir, Khathoghonuwin ngotot ingin berperang secepatnya. Pasukan Syaifuddin Quthuz dan Tatar Mongol pun bertemu di daerah ‘Ain Jaluth, yang secara harfiah artinya mata air Jaluth (Goliath), mata air sungai yang letaknya dekat dengan peristiwa Nabi Daud as melawan Jaluth (Goliath) di zaman dahulu.
Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat pada tanggal 25 Ramadhan, dalam riwayat lain tanggal 15 Ramadhan, namun semua sepakat bahwa pertempuran itu terjadi hari Jumat pasca waktu adzan Zuhur (Jum’atan), lantaran Syaifuddin Quthuz memerintahkan pasukannya menunggu waktu shalat Jum’at.
Setelah matahari tergelincir. Syaifuddin Quthuz sengaja memilih waktu tersebut karena di waktu itulah doa-doa dari para khatib dan jamaah shalat Jumat berkumandang. Tidak hanya itu, perang ba’da matahari tergelincir disebutkan sebagai sunnah Rasullah dan para sahabatnya. Akhirnya, kedua pasukan pun bertempur mati-matian sekaligus habis-habisan.
Kedahsyatan peperangan yang satu ini belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan bisa dikatakan jauh lebih dahsyat dari perang-perang Sultan Salahuddin Al-Ayyubi melawan Pasukan Salib di abad sebelumnya. Mereka bertarung habis-habisan, pasukan dari kedua belah pihak banyak yang tewas. Sekalipun jumlah kaum Muslimin banyak, tetapi kalah banyak jika dibandingkan jumlah serdadu Tatar Mongol.
Pada saat perang berkecamuk, pada awalnya umat Islam terdesak di berbagai front. Kecamuk perang menunjukkan Tatar Mongol berada dalam posisi unggul. Di situlah kehebatan Syiafuddin Quthuz diuji sebagai panglima perang, meskipun di berbagai titik front perang dahsyat itu umat Islam sempat terdesak namun sesegera mungkin Syaifuddin Quthuz turut bergabung kepada bagian-bagian pasukan Islam yang kelihatan mulai melemah.
Singkatnya, Syaifuddin Quthuz berpindah dan bermanuver dari satu front ke front lainnya! Ia sadar bahwa para mujahid yang mulai kewalahan melawan pasukan musyrik harus diberi spirit dan keteladanan berperang. Syaifuddin Quthuz berperang dengan berpindah-pindah di banyak front perang. Di mana ada kelompok-kelompok kaum Muslimin sedang terdesak, di situlah Syaifuddin Quthuz turut bergabung bersama mereka.
Selain memberikan keteladanan berperang serta menumbuhkan motivasi para mujahid, Syaifuddin Quthuz di sela-sela kecamuk perang menyempatkan diri bermunajat pada Allah ‘azza wa jalla yang Maha Penentu dan Maha Berkehendak dengan doa “Wahai Allah tolonglah hambaMu Quthuz”, panglima yang satu ini juga berseru “wa Islamah, wa Islamah” (wahai Islam, wahai Islam) untuk tetap mengobarkan semangat pasukan, hingga tadinya di banyak front yang kaum Muslimin hampir saja kalah namun bisa berujung dengan kemenangan.
Akhirnya dengan ketangguhan dan kesabaran pasukan Islam, Allah ‘azza wa jalla memenangkan kaum Muslimin atas pasukan Tatar Mongol, Islam pun berhasil mengalahkan pasukan terkuat di dunia di masa itu dengan gemilang! Kemenangan itu berawal dari terbunuhnya panglima Tatar Khatoghonuwin, beberapa putranya yang turut berperang pun berhasil dibunuh dan sebagian ditawan.
Umumnya jika para pemimpin dan komandan perang pasukan telah terbunuh, maka pasukan tersebut akan hancur spirit berperangnya tidak terkecuali bangsa barbar seperti Tatar Mongol ini. Kebuasan mereka hilang sama sekali ketika kepala pasukannya telah terbunuh. Sisa-sisa pasukan Tatar Mongol pun lari tunggang langgang.
Momentum kemenangan pasukan kaum Muslimin ditandai dengan turunnya Syaifuddin Quthuz dari kudanya, menundukan wajahnya ke tanah lalu shalat dua rakaat di tanah pertempuran sebagai rasa syukur kepada Allah. Di tengah-tengah puluhan ribu pasukannya yang tengah bersuka cita seraya bertakbir. Sekalipun pasukan Tatar Mongol telah kalah dan sebagian ada yang lari, namun dosa mereka terlalu banyak bagi kaum Muslimin. Di antara dosa-dosa Tatar Mongol yang paling diingat oleh sejarah ialah mereka telah membantai lebih dari setengah penduduk Baghdad, kota seribu satu malam pun dibumi hanguskan begitu saja, buku-buku, perpustakaan dan lembaga-lembaga keilmuwan sebagai ‘turbin’ peradaban pun turut dibakar habis. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Tatar Mongol membunuh hingga dua juta kaum Muslimin hanya dalam beberapa pekan saja, mayoritas penduduk Baghdad. Maka pasukan Tatar Mongol yang lari terbirit-birit kendati telah kalah telak dalam pertempuran tetap terus diburu oleh pasukan kaum Muslimin, hingga terbunuhlah pasukan Tatar Mongol dengan jumlah yang tidak bisa dihitung. Sisa pasukan yang lari tunggang-langgang juga dihukum mati. Allah memenangkan kaum Muslimin atas Mongol untuk pertama kalinya. Patut diingat, bahwa kemenangan ‘Ain Jaluth ini menjadi titik tolak berbaliknya kemenangan-kemenangan kepada kaum Muslimin, setelah sebelumnya kaum Muslimin begitu tidak berdaya melawan Tatar Mongol. Kalah, kalah dan kelah pasca ‘Ain Jaluth menjadi menang, menang dan menang.
Panglima besar Syaifuddin Quthuz memerintahkan pemimpin kaveleri Baibras Al-Bunduqdari (kelak menjadi amir Mesir) bersama anak buahnya untuk mengejar serta membuntuti pasukan Tatar yang lari dari medan tempur, serta diperintahkan pula membunuh mereka yang lari di mana saja mereka berada. Baibras dan pasukannya mengejar hingga tiba di kota Halb serta memerangi sisa-sisa pasukan Tatar Mongol di sana. Pasukan Tatar yang berada di Damaskus pun turut pula melarikan diri, hal itu terjadi pada Ahad 27 Ramadhan, dua hari pasca kekalahan pasukan Tatar Mongol di ‘Ain Jaluth. Pasukan Tatar Mongol Damaskus yang kabur pun kini berbalik dikejar kaum Muslimin Damaskus. Kemenangan ‘Ain Jaluth rupanya memompa semangat kaum Muslimin di seluruh penjuru untuk melawan dan membalas kekalahan-kekalahan mereka sebelumnya dari Tatar Mongol. Mental kaum Muslimin memang sedang kuat dan hati mereka pun menyatu.
Selanjutnya kaum Muslimin membebaskan tawanan-tawanan pasukan Tatar Mongol, mereka juga berhasil menyapu bersih pasukan Tatar Mongol. Berita kemenangan kaum Muslimin tersiar di mana-mana dan mereka bergembira atas kemenangan ini. Pertolongan Allah memang dekat jika kaum Muslimin mau bersatu-padu untuk berperang melawan musuh-musuh Islam. Moment-moment di penghujung Ramadhan itu kaum Muslimin memang bahu-membahu melupakan perbedaan mazhab dan kebangsaan mereka.
Sebagian Tatar Mongol yang tersisa merengek-rengek memohon pertolongan kepada kaum Kristen Arab yang mereka diistimewakan Tatar pasca runtuhnya Khilafah Abassiyah. Maksud pasukan Tatar kini kaum Kristen harus membalas budi: melindungi mereka. Di sisi lain, kaum Muslimin sadar bahwa umat Kristen Arab di masa penjajahan Tatar Mongol turut serta mengkhianati umat Islam, bahkan kaum Kristen Damaskus di saat kota Damaskus jatuh (walau hanya beberapa hari) ke Tatar, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa Nihayah bertubi-tubi menghina dan melecehkan Islam, umat Islam serta masjidnya karena merasa pihak Tatar Mongol membela mereka. Maka hukuman ketika Tatar Mongol terkalahkan, umat Islam membalas perlakuan kaum Kristen yang bersekongkol dengan Tatar itu melalui penghancuran bangunan-bangunan dan rumah-rumah yang menjadi tempat persekongkolan para pengkhianat Kristen. Para pengkhianat tersebut pun dijatuhi hukuman sesuai syariat Islam.
Sejarawan Al-Maqrizi menuturkan, ketika kaum Muslimin berhasil menguasai negeri mereka sendiri yang sebelumnya dijajah Tatar Mongol, maka mereka pun menutup mulut orang-orang Nasrani yang tadinya semena-mena mencela Islam. Padahal sebelumnya, kaum Kristen diperlakukan secara hormat dan adil di bawah naungan Khilafah Islam, namun saat Tatar Mongol menyerang, umat Kristen malah berkhianat dengan bersekutu dengan Tatar, turut serta pula mereka membantai kaum Muslimin yang lemah di negeri Syam, juga membakar masjid-masjid. Perlakuan kaum Kristen semacam itu memang menjadi watak orang kafir ahli kitab, yang sudah diperingatkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Al-Qur’an di berbagai ayat. Kaum Kristen pun mendapat balasan yang setimpal seperti Tatar Mongol. Adakah kaum Nasrani pernah berbuat seperti itu juga di zaman kita ini sekarang?
selain itu, umat Islam juga berhasil menumpas kaum Syiah yang sebelumnya telah pula berkhianat dengan membantu pasukan Tatar menjamah kekayaan kaum Muslimin. Di antara tokoh Syi’ah tersebut bernama Ibnu Al-Qami yang memuluskan jalan agar Tatar Mongol menghancurkan negeri-negeri Islam, terutama kota Baghdad, di mana Tatar Mongol sampai membunuh wanita serta anak-anak kaum Muslimin. Tentu saja dengan watak khas Tatar Mongol, perkosa dulu, siksa dulu, barulah setelah bosan para wanita Muslimah dan anak-anaknya dibunuh.
Pada akhirnya kemenangan berada di tangan kaum Muslimin, Allah ta’ala berfirman:
“Maka orang-orang zholim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Rabb Semesta Alam.” (QS Al-An’am: 45)
Begitulah kisah amir dan panglima besar kebanggaan kaum Muslimin Syaifuddin Quthuz memimpin perlawanan terhadap penjajahan kaum musyrikin Tatar Mongol. Pasca pertempuran itu Syaifuddin Quthuz disambut kedatangannya di negeri-negeri Muslim yang didatanginya. Ia disambut layaknya pahlawan besar, dan memang begitulah kenyataannya, dan begitulah seharusnya. Namanya bisa disandingkan dengan para panglima mujahid Islam di masa lampau seperti Thariq bin Ziyad, Musa bin Nushair, Uqbah bin Nafi’, dan Shalahuddin Al-Ayyubi. Di samping itu, pasukan Bibras Al-Bandaqodari, pemimpin kaveleri, telah berhasil mengusir pasukan Hulagu Khan dari banyak negeri kaum Muslimin pasca Perang ‘Ain Jaluth. Setelah kemenangan ‘Ain Jaluth, bertubi-tubi pasukan Islam lainnya memenangi pertempuran-pertempuran melawan Tatar Mongol. Musuh pun telah dihancurkan spirit perangnya. Para pembesar Tatar Mongol sendiri yang masih keturunan Jengis Khan saling berkonflik antar sesama mereka setelah banyak mengalami kekalahan, mereka bertarung dan saling bunuh sesama bangsa Tatar. Ada beberapa keturunan Jengis Khan yang masuk Islam, di antara mereka ada yang berislam dengan baik namun ada juga yang sekalipun telah masuk agama Islam namun tetap memerangi umat Islam.
Begitulah Allah menakdirkan panglima Syaifuddin Quthuz memimpin perlawanan kaum muslimin. Setelah kemenangan, kaum Muslimin mengangkat khalifah kembali dari Bani Abbas yang tersisa setelah sebelumnya keluarga khalifah dibantai habis Tatar Mongol. Lama sudah kaum Muslimin merindukan orang semacam Syaifuddin Quthuz ini.
Penulis : Ilham Martasyabana, penggiat sejarah Islam
Sumber Foto Gambar : Wikipedia